
Jatuhnya Deadhead Watching Keep telah menghantam para Tentara Perbatasan di Altana seperti sambaran petir, meskipun ada desas-desus tak menyenangkan tentang itu di antara tentara sukarelawan sebelumnya. Para tentara sukarelawan mengatakan bahwa para orc dan undead dari seluruh penjuru telah berkumpul di Rhodekia, bekas ibu kota Kerajaan Arabakia, yang sekarang disebut Grozdendahl. Sekelompok besar, bukan itu, segerombolan orc, atau mungkin undead, terlihat sedang berbaris dan berjalan ke selatan dari Grozdendahl. Lalu setelahnya juga ada asap hitam yang muncul dari Hutan Bayangan tempat para elf tinggal karena adanya kebakaran besar di sana yang telah dilakukan oleh seseorang.
Tentara Perbatasan mengirim pengintai untuk mencoba mencari tahu situasi disana, tetapi pada akhirnya mereka tidak berhasil mendapatkan informasi apa pun tentang situasi yang ada disana.
Mereka juga gagal mendeteksi serangan Aliansi Raja sampai Deadhead Watching Keep jatuh.
Namun pada saat itu, komandan Tentara Perbatasan, Jenderal Rasentra, sudah merasakan rasa krisis. Itu bisa dilihat dari caranya memerintahkan utusan ke daratan utama untuk meminta bala bantuan segera setelah menerima laporan jatuhnya benteng.
Tapi itu sudah terlambat.
Dua hari setelah jatuhnya Deadhead Watching Keep, jangkauan musuh meluas ke Altana.
Terlepas dari upaya mereka untuk memperkuat pertahanan, dinding Altana masih dengan mudah dibobol oleh para penyerang. Musuh jauh lebih besar jumlahnya daripada yang mereka bayangkan, dan juga sangat ganas. Bukan hanya Tentara Perbatasan; tentara sukarelawan yang kebetulan berada di Altana pada saat itu juga bertempur, tapi mereka masih tidak dapat menghentikan momentum musuh.
Musuh mengepung Tenboro, rumah Margrave Garlan Vedoy, dalam waktu singkat.
Graham Rasentra mencoba membawa satu unit orang-orang terbaiknya ke Tenboro, tetapi gagal mencapai tujuannya dan mati saat pertempuran satu lawan satu dengan orc bernama Jumbo.
Musuh berhasil masuk ke Tenboro, dan semua orang kecuali Margrave terbunuh di sana.
Dikatakan bahwa brigadir jenderal Ian Ratty dan Jord Horn juga tewas dalam pertempuran tersebut.
Ada tiga brigadir jenderal di Angkatan Darat Perbatasan, yaitu orang-orang yang diberi wewenang untuk memimpin sebuah brigade. Yang terakhir dari mereka, Wren Water, tidak ditemukan, tetapi diduga bahwa dia melarikan diri dari Altana karena takut mati, atau mungkin terbunuh ketika mencoba melakukan itu.
Tentara sukarelawan di bawah komando Kepala Kantor Korps Tentara Sukarelawan Britney bertempur dengan sengit, dan dikatakan telah mendorong musuh kembali pada tempatnya. Eksploitasi Renji, yang mendaftar pada saat yang sama dengan Haruhiro, sangat luar biasa, dan dia membunuh banyak musuh sendirian. Namun, ketika segerombolan besar goblin meyerbu dari Damuro, tentara sukarelawan melarikan diri dan ada juga yang mati.
Semuanya berakhir dalam rentang satu malam.
Bahkan setelah pertempuran berakhir, Barbara tetap tinggal di Altana seperti yang telah mereka sepakati. Dia mengumpulkan informasi saat mencari korban selamat, tapi sayangnya dia tidak mendapatkan hasil yang berarti.
Menurut Barbara, setengah dari pasukan musuh pergi beberapa hari setelah jatuhnya Altana. Sejak saat itu, para goblin telah menjadi penguasa kota ini.
Operasi pembersihan atau perburuan manusia oleh para goblin sangat teliti dan menyeluruh.
Sebenarnya masih ada sejumlah orang yang bersembunyi di bangunan-bangunan karena tidak dapat melarikan diri, atau pun untuk bersembunyi karena luka berat seperti master dari guild dark knight.
Sebagian besar dari mereka telah ditemukan, diseret keluar, lalu dibantai.
Para goblin menyusun tumpukan mayat manusia di alun-alun dekat Tenboro dan mengadakan sesuatu seperti festival.
Mayat mereka tidak hanya dipajang.
Barbara telah melihat mereka dari kejauhan memotong-motong mayat manusia, memasaknya, dan juga merebusnya.
Tentu saja dia juga melihat para goblin memakannya.
Namun, para goblin menggunakan semua mayat dengan cara yang sama. Atau lebih tepatnya, satu-satunya tubuh yang mereka hancurkan, dan lampiaskan amarah mereka juga cemoohan mereka adalah tubuh manusia, tetapi mereka juga suka membuat makanan dari jenisnya sendiri. Oleh karena itu, ini adalah kejadian sehari-hari yang umum bagi para goblin.
Barbara menyimpulkan bahwa manusia telah dimusnahkan dari Altana.
Sepertinya para goblin juga berpikir seperti itu.
Pada awalnya, para goblin berada di bawah kepemimpinan seorang individu yang tingginya sekitar 150 sentimeter, menurut standar para goblin, tinggi itu bisa disebut luar biasa. Barbara menyebutnya raja, dan para goblin tidak hanya menghormatinya; mereka merendahkan diri di hadapannya. Ketika raja memerintahkan sesuatu, mereka semua langsung bergerak, atau berhenti dan tidak berbicara. Dia berpakaian hampir seperti manusia, memakai mahkota yang terbuat dari semacam logam kemerahan, dan membawa tongkat dari bahan yang juga sama seperti mahkotanya.
Barbara telah menyaksikan para goblin membungkuk di hadapan raja, dan berulang kali memanggilnya Mogado. Mogado Gwagajin. Itu pasti namanya, atau mungkin gelarnya.
Ada juga goblin besar yang membawa peralatan dari logam merah yang sama, dan mengikuti raja berkeliling dan memberi perintah kepada goblin lainnya. Mereka jelas-jelas adalah pengikutnya. Karena ada sekitar seratus dari mereka, Barbara menyebut mereka The Hundred.
Setelah perburuan manusia dan festival selesai, raja tampak puas dan meninggalkan Altana dengan sekitar setengah dari The Hundred.
Ada goblin lain yang mungkin menjadi komandan kedua setelah raja. Yang ini berpakaian seperti
raja, tetapi tanpa mahkota, dan goblin tersebut lah yang bertugas mengambil alih Altana setelah raja pergi.
Barbara telah melihat para goblin memanggil individu tersebut Mod Bogg.
Barbara menduga bahwa mod hanyalah sebuah julukan, dan Bogg adalah nama individu tersebut. Jika Bogg ini berada di tingkat bawah setelah raja, Kau mungkin bisa memanggil dia sebagai semacam viceroy.*
(Raja Muda. Seperti biasa bakal nyebutnya viceroy aja, plus yang The Hundred juga)
Altana yang ditempati oleh ribuan goblin berada di bawah perintah Viceroy Bogg dan dua puluh dari The Hundred.
Sepertinya Viceroy Bogg tinggal di Tenboro. Hundred juga tinggal di sana, dan keluar ketika mereka memiliki urusan yang harus diselesaikan.
Barbara baru saja melihat Margrave dalam keadaan diikat dengan rantai. Dia diseret di sekitar alun-alun, diejek oleh para goblin, diludahi, kemudian dibawa kembali ke dalam Tenboro. Barbara tidak bisa mengatakan dengan pasti bahwa dia masih hidup, tetapi jika mereka akan membunuhnya, seharusnya dilakukan saat itu juga. Mereka mungkin membiarkannya hidup karena suatu alasan.
Tidak ada lagi goblin yang meninggalkan Altana, tetapi yang ada malah kebalikannya. Ada lagi goblin yang mungkin datang dari Damuro, dan jumlah mereka terus meningkat.
Para goblin yang dia lihat bersenjata, dan tampaknya semua dari mereka adalah laki-laki.
Tidak banyak goblin yang tampaknya sudah menikah. Di Altana, viceroy dan laki-laki berpengaruh lainnya seperti anggota The Hundred, pada kesempatan yang sangat langka, terlihat bersama dengan goblin perempuan.
Para goblin perempuan memiliki kepala kecil, payudara besar, dan perut bengkak. Mereka mungkin sedang hamil. Tampaknya standar di masyarakat goblin adalah para goblin yang berpengaruh bisa mengambil banyak wanita sebagai istri.
Viceroy dan anggota The Hundred yang memerintah Altana menggantikan Raja Mogado Gwagajin tinggal di Menara Tenboro, beserta istri-istrinya.
Jika ada situasi yang krisis, seorang utusan akan lari ke Tenboro, dan The Hundred biasanya akan langsung pergi untuk menanganinya.
Pintu menara tenboro yang telah dihancurkan pada saat penyerangan disingkirkan, dan diganti dengan sebuah barikade yang didirikan di sana. Selalu ada lusinan goblin di barikade, dan terkadang anggota The Hundred juga ada disana.
“Jika kita merencanakannya dengan benar, sepertinya kita bisa melakukannya,” gumam Jenderal Jin Mogis dengan sedikit kilatan cahaya di matanya yang berkarat. “Jika kita meluncurkan serangan pengalihan, maka kita bisa menyerang Tenboro saat keamanannya tipis, dan mungkin juga kalau kita bisa mengambil kepala viceroy.”
Haruhiro dan yang lainnya telah kembali ke Jenderal Mogis bersama Barbara.
Alasan yang mereka berikan adalah; daripada menyampaikan informasi dari orang kedua, lebih baik Barbara berbicara langsung dengannya. Tapi sebenarnya, Barbara ingin memutuskan sendiri seberapa banyak yang harus dia ungkapkan kepada sang jenderal tergantung dari pria seperti apa dia itu.
Jenderal Mogis memiliki ruangan dengan meja dan kursi yang diatur di mana dia bisa mengadakan dewan perang.
Saat kegelapan malam merambah perkemahan, Jenderal Mogis, tiga prajurit terdekatnya, Neal si scout, Anthony, Haruhiro, Merry, dan Barbara ada di sana.
Namun, mereka kekurangan kursi, jadi Haruhiro berdiri.
"Aku ingin sebuah peta." Jenderal memandang Barbara. “Peta yang detail. Dengan semua jalur untuk keluar masuk. Bisakah kamu menyiapkannya?”
"Mungkin." Barbara tersenyum. “Kita harus menyalin peta Altana kami lalu memberikannya padamu. Itu akan memakan waktu.”
Jenderal meletakkan tangannya di atas meja, dan menatap barbara dengan tajam. "Serahkan apa adanya."
Senyum Barbara semakin dalam. “Itu tidak akan mungkin.”
"Mengapa?" tanya sang jenderal tanpa ragu.
"Petanya berantakan." Barbara menjilat bibirnya dan tertawa kecil. “Karena cara menggambar peta kami yang tidak biasa, hanya kami yang bisa memahaminya."
“Ketika kami para scout menggambar peta, kami memiliki cara kami sendiri ketika melakukannya,” sela Neal. “Jika anda tidak tahu cara membacanya, itu mungkin tidak akan ada artinya. Thief di perbatasan seharusnya menggunakan cara yang sama juga. Jadi harusnya aku juga bisa membacanya.”
Barbara mengolok-oloknya dengan cara yang menggoda. “Tidak, kamu tidak bisa melakukan itu. Kami memiliki cara kami sendiri ketika melakukan sesuatu di perbatasan.”
Nael mengangkat bahu. "Mungkin kau benar."
"Siapkan peta itu dalam tiga hari," tuntut sang jenderal dengan suara monoton. “Aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi.”
Barbara masih tersenyum. “Jika kamu tidak harus menunggu, apa yang akan kamu lakukan?”
“Siapa pun yang tidak bekerja sama dengan kami akan dianggap sebagai penghalang."
“Pemaksa, ya? Aku tidak keberatan dengan pria seperti itu. ”
“Wanita pintar sepertimu juga termasuk favoritku. Aku selalu mendapati diriku ingin melahapmu.”
Apakah dia serius, ataukah itu ancaman? Atau bahkan mungkin kalau itu adalah lelucon? Apa pun
itu, jika sang jenderal bisa mengatakan itu dengan tatapan serius wajahnya, aman untuk mengatakan kalau setidaknya dia tidak memiliki pola berpikir yang biasa-biasa saja.
Meskipun cara Barbara tidak mundur juga luar biasa.
“Yah, aku lebih suka menjadi orang yang melahap. Sekarang, mari kita asumsikan kalau aku akan membuatkanmu peta. Berapa banyak orang yang akan masuk ke dalam Altana?”
“50 sampai 100 paling banyak. Sisanya akan menyerang dari luar.”
“Apa yang akan kamu lakukan setelah mengambil Altana?”
"Itu bukan hal yang perlu kamu khawatirkan."
“Kita dikelilingi oleh musuh, Jenderal. Tepat di utara Altana, ada ratusan orc di Deadhead Watching Keep.”
"Aku tahu."
"Para goblin dan orc tidak bersahabat, tapi ..." Kata Anthony dengan ragu-ragu.
“Altana adalah apa yang diinginkan Kerajaan Arabakia.” Jenderal melihat sekeliling pada semua orang yang ada di sana. “Pasukan Ekspedisi harus mengambil Altana. Itulah tugas yang diberikan pada kita.”
Tidak ada ruang untuk negosiasi. Tidak peduli apa yang dikatakan orang lain, sang jenderal tidak akan mengubah kebijakannya.
Barbara menengadah ke langit dan menghela napas. Dia membelai dagunya dan berpikir sejenak, lalu melirik ke sang jenderal lagi.
“Membuat peta, membawa para prajurit ke Altana, dan menempatkan mereka di posisi yang tepat akan memakan waktu sepuluh hari untuk mempersiapkannya. ”
"Lima hari," kata sang jenderal.
Barbara sedikit memiringkan kepalanya ke samping.
"Bagaimana kalau delapan hari?"
"Tujuh hari."
"Bisakah delapan hari termasuk hari ini yang hampir berakhir?"
"Baiklah."
“Lalu kita akan bersiap selama delapan hari, termasuk hari ini, dan bertindak pada hari kesembilan.”
Sang Jenderal diam-diam mengangguk.
"Yahh." Barbara memberinya senyum seksi. “Aku pikir kita mungkin akan hampir tidak berhasil
melakukannya tepat waktu.”
“Sepertinya kau lebih cocok menjalankan rumah bordil daripada bekerja sebagai thief,” kata sang jenderal tanpa emosi.
"Aku pikir tidur dengan pria dan wanita yang bagus lebih cocok untukku."
"Bagiku," sang jenderal memberinya senyum yang sangat tipis sampai-sampai dipertanyakan apakah itu bisa disebut senyuman. “Apakah itu pria atau wanita, barbarian, binatang, atau pun monster, menginjak-injak mereka lah yang paling cocok untukku.”
Jin Mogis masih tetap tidak bisa ditebak seperti biasanya. Tetapi ketika dia mengatakan kalau dirinya menikmati menginjak-injak sesuatu ke tanah mungkin adalah kebenarannya.
Apapun masalahnya, diskusi telah berakhir.
Dalam kurun waktu sembilan hari, mereka akan melakukan operasi untuk merebut kembali Altana. Meskipun bukan sepuluh hari yang awalnya diminta Barbara, waktu itu masih cukup banyak untuk mempersiapkan semuanya.
Ketika Barbara kembali ke Altana untuk menyiapkan peta, Neal dikirim untuk menemaninya. Mereka mengatakan kalau itu untuk membantu pekerjaan Barbara, tapi pada dasarnya dia disuruh kesana untuk mengawasinya.
Haruhiro dan Merry menuju ke tenda tempat rekan-rekan mereka menunggu. Mereka memiliki banyak hal untuk dibicarakan, tetapi Neal bukanlah satu-satunya scout di sini. Mungkin ada orang yang bekerja untuk Jenderal Mogis atau Neal yang mendengarkan, jadi mereka harus berhati-hati saat berbagi informasi. Mereka tidak punya banyak waktu, tetapi setidaknya akan ada waktu yang cukup bagi mereka nanti. Jadi tidak perlu terburu-buru.
Keesokan harinya, sang jenderal membuat pengumuman kepada seluruh pasukan.
“Delapan hari dari sekarang, Pasukan Ekspedisi akan meluncurkan operasi yang kritis. Untuk melakukan itu, aku akan merekrut regu bunuh diri yang akan menjalani misi berbahaya. Sebelum mencapai 50 sukarelawan yang dibutuhkan, aku sendiri akan mengeksekusi satu orang yang melanggar peraturan setiap harinya.”
Itu adalah pengumuman yang tidak normal, bahkan bisa disebut gila.
Haruhiro yakin sang jenderal pasti serius, tapi sebagian besar prajurit tampaknya tidak menganggapnya seperti itu.
Tidak ada relawan pada hari pertama.
Tepat setelah matahari terbenam, sang jenderal melihat ke sekeliling perkemahan. Meskipun mereka takut pada sang jenderal, sejumlah besar prajurit menyeringai atau pun berbaring di tanah seolah-olah mereka tidak peduli. Sang Jenderal tiba-tiba berhenti, dan memerintahkan seorang prajurit yang duduk di tanah dan memalingkan muka darinya untuk "Berdiri."
Pria itu tidak ragu. Dia berdiri dengan cukup cepat. Dia adalah seorang prajurit muda, mungkin umurnya sekitar dua puluhan.
"...Apa itu?"
“Apakah kamu pernah melanggar peraturan?”
“Tidak, kurasa tidak.”
"Benarkah?"
"Ya."
"Siapa atasanmu?" Jenderal melihat ke sekeliling.
Prajurit tua yang duduk di dekatnya berdiri. "Aku," katanya.
"Apakah dia pernah melanggar peraturan?" tanya sang jenderal.
"...Aku tidak percaya dia pernah melakukan sesuatu seperti itu," jawab prajurit tua itu.
"Lalu apakah kamu diberi perintah yang mengatakan kalau kamu boleh duduk di sini?"
"Tidak," prajurit tua itu tampak gelisah. "...Kami tidak diberi perintah seperti itu."
"Betul sekali. Aku tidak menyuruhmu untuk duduk. Melakukan hal-hal yang tidak kuperintahkan kepadamu itu bertentangan dengan peraturan.”
Sang Jenderal tiba-tiba menghunuskan pedangnya, lalu memenggal kepala prajurit muda itu.
Kepalanya berguling, dan tubuhnya merosot ke tanah.
Kamp itu menjadi sunyi.
Sang Jenderal dengan tenang menyeka darah dari pedangnya menggunakan jubah bulu hitamnya, lalu mengembalikannya ke sarungnya. "Bersihkan mayatnya," perintahnya pada prajurit tua itu.
"Y-Ya, pak!" Prajurit tua itu mengangguk berulang kali.
“Kalau begitu sekarang...” Jenderal itu melihat sekeliling ke arah para prajurit. "Apakah di Pasukan Ekspedisi ini ada yang tidak melanggar peraturan? Aku bertanya-tanya berapa banyak lagi yang harus kubunuh. Merepotkan sekali. ”
Setelahnya, para prajurit dibiarkan dalam keadaan dilema.
Jin Mogis menyebutnya regu bunuh diri. Misi itu pasti keras. Mereka harus siap mati dalam pertempuran yang akan datang, karena mereka pasti akan mati. Meskipun tidak semua sukarelawan dijamin mati, tapi kemungkinannya besar.
Jika mereka mengajukan diri, mereka mungkin akan mati saat menjalankan misi itu, tetapi mereka tidak akan dieksekusi karena melanggar peraturan. Selain itu, jika jumlah relawan mencapai 50, tidak ada yang akan ditebas oleh sang jenderal sampai operasi dimulai. Jika ada seribu pasukan di Pasukan Ekspedisi, ada kemungkinan satu dari seribu akan dieksekusi oleh sang jenderal besok. Jika mereka sangat tidak beruntung, mereka tidak akan menang, tidak, dalam hal ini, mungkin kalah
adalah kata yang lebih tepat di permainan lotre khusus ini.
Para prajurit memikirkannya baik-baik, berbicara dengan teman-teman mereka, memberi tahu mereka orang yang tidak mereka suka untuk menjadi sukarelawan, berkelahi, menengahi, mengkritik orang lain dengan keras, dan menghabiskan malam tanpa tidur.
Haruhiro dan kelompoknya mungkin tidak akan dieksekusi, tapi hawa membunuh di kamp itu terasa tidak nyaman. Di tengah malam, ketika mereka berbicara secara rahasia, dan tidak bisa tidur sama seperti para prajurit, Anthony datang mengunjungi mereka.
“Aku sudah memberitahumu, bukan? Jenderal itu bukan orang biasa. Meskipun mengetahui itu, aku menunggu untuk melihat bagaimana dia akan membuat pasukan ini bertarung, tapi... Aku tidak pernah menduga dia akan melakukan itu.”
"Apakah menututmu dia akan mendapatkan 50?" Kuzaku bertanya dengan nada yang jijik.
"Aku juga penasaran tentang itu," gumam Anthony, tidak memberikan jawaban yang tepat, kemudian duduk di sebelah Kuzaku.
Kuzaku terlihat jelas kesal padanya.
Tampaknya bagi Anthony, perbedaan antara siapa yang berasal dari daratan utama dan siapa yang berasal dari perbatasan adalah faktor yang paling penting. Haruhiro dan kelompoknya adalah orang-orang perbatasan, jadi dia merasa lebih dekat dengan mereka daripada dengan orang-orang dari daratan utama.
"Situasi sebenarnya di daratan utama yang jenderal ceritakan padaku..." kata Anthony dengan suara rendah. "Apakah menurutmu itu semua benar?"
“Kami tidak mungkin mengetahui itu.” kata Setora tanpa basa-basi.
Anthony menundukkan kepalanya.
"Kau benar."
“Aku, aku hanya akan melakukan apa yang harus kulakukan, kau tahu?” Kuzaku mengatakan itu untuk mencoba memuluskan situasinya.
“Itu adalah kata-kata yang aku harapkan dari seseorang tanpa otak di kepalanya.” Setora mendengus.
“Kenapa kau selalu cepat mengatakan hal seperti itu, Setora-san?!”
"Kalian sangat akur ya," kata Anthony tiba-tiba. "Aku iri."
Haruhiro tidak yakin apa yang membuatnya iri, tapi jika Anthony mengetahui bahwa mereka semua kecuali Merry telah kehilangan ingatannya, apakah dia akan tetap merasakan hal yang sama? Mungkin yang ada dia akan merasa lebih iri. Tetapi semakin banyak hal yang cukup kau pedulikan sampai-sampai takut kehilangannya, akan semakin lebih sulit bagimu untuk bertindak. Sejak kembali ke Altana, Haruhiro tidak memiliki percakapan yang layak dengan Shihoru. Dia tampak agak dingin padanya, seperti mencoba untuk menghindarinya.
Komentar
Posting Komentar