“Sial, sial, sial! Itu sudah dimulai...!” Si Pria bertopeng itu sedang berlari. Berlari secepat yang dia bisa, meski telah kehabisan napas.
Dia menuju ke Altana yang sedang terbakar. Pria bertopeng itu akhirnya kembali ke Altana. Itu bukan lah momen yang emosional. Dia tak punya waktu untuk menjadi sentimental sekarang.
Dinding-dindingnya telah dibobol. Tangga-tangga bersandar pada dinding-dinding itu, dan anggota-anggota dari Forgan memanjatnya satu demi satu. Dia bisa saja membunuh setiap satu dari mereka selagi masih berada dalam jangkauan, tapi itu tetap tidak akan membuat perbedaan yang berarti terhadap mereka. Itu juga sama saja dengan bunuh diri. Ada banyak petarung yang terampil di Forgan, meskipun tidak semua dari mereka mencapai level tinggi yang sama. Jika dia berakhir melawan sekelompok yang lebih berbakat pada saat yang sama, bahkan pria bertopeng itu tak bisa keluar dari sana hidup-hidup. Si Pria bertopeng berani, tetapi tidak gegabah.
Kakinya melambat, tetapi tidak berhenti. Saat dia sedang jogging, dia mengatur napasnya. Ketika kau mencapai level si pria bertopeng itu, kau bahkan bisa tidur sambil berjalan. Tanpa memaksakan dirinya untuk beristirahat seperti itu, dia tak akan bisa bertahan. Itu hanya menunjukkanmu betapa kerasnya situasi yang biasa dia alami.
"Jurus Rahasia, Flickering Body, Severing Space."
Dia bergerak cepat, lalu berbaur dengan anggota-anggota dari Forgan saat mereka menaiki tangga. Bahkan ketika dia sampai sisi lain, mereka tidak menyadari kalau pria bertopeng itu bukan lah salah satu dari mereka. Lagipula, meski hanya untuk beberapa waktu, dia pernah jadi salah satunya.
Api naik dari bangunan-bangunan di seluruh kota. Namun, banyak bangunan, terutama di di Distrik Utara ini, terbuat dari batu. Kota ini tidak akan berubah menjadi neraka. Forgan tidak bermaksud untuk meruntuhkan Altana ke tanah. Mereka hanya bermaksud untuk menabur kekacauan dengan menyalakan api, lalu pergi bekerja.
Bagi Forgan, semua ini hanya lah: pekerjaan. Jumbo, pemimpin mereka, mungkin seorang orc, tapi dia berbeda dari orc lainnya. Setidaknya, dia tidak mendiskriminasi berdasarkan ras. Etika Forgan didasarkan oleh satu hal: tak peduli apakah itu mahluk tak hidup atau pun hidup yang bersama mereka. Bagi mereka, rekan-rekannya adalah keluarga. Forgan adalah rumah utama bagi mereka.
Konon di katakan, bahkan jika mereka telah memilih Forgan sebagai tempat mereka untuk mati, tanah air tempat mereka dilahirkan adalah masalah yang berbeda. Tidak semua dari mereka adalah anak yatim. Jika mereka mempunyai kerabat yang masih hidup, mereka tak akan melupakan mereka begitu saja. Secara khusus, meskipun telah lama tumbuh menjadi kerajaan, ras orc menempatkan nilai yang luar biasa pada suku lama mereka sendiri. Bahkan jika mereka harus meninggalkan desa kelahiran mereka karena suatu alasan, tidak sedikit dari mereka yang masih memiliki ikatan yang tak terpisahkan dengan darah dan daging mereka sendiri.
Itulah tepatnya yang menyeret Forgan ke dalam pertempuran ini.
Si pria bertopeng itu bersusah payah menangkap salah satu orc Forgan untuk mengintrogasinya. Dif Gogun, raja para Orc, murah hati kepada mereka yang mematuhinya. Tapi tak punya belas kasihan terhadap pembangkangan. Penculikan, pengancaman, dan penyiksaan adalah keahliannya. Menyandera kerabat seseorang untuk membuat mereka melakukan perintahnya adalah taktik umum baginya. Raja Dif bahkan mendirikan sebuah kamp besar hanya untuk para sandera itu.
Tidak sedikit Orc Forgan yang menjadi korban metode licik ini. Apakah dia akan bergabung dengan Raja Dif? Atau kah dia akan meninggalkan keluarga rekan-rekannya — yang berarti keluarga keluarganya — untuk mati? Itulah keputusan pahit yang harus dihadapi Jumbo.
Ini tidak seperti dia, pikir si pria bertopeng, tapi dia sudah bukan lagi anggota Forgan, jadi bukan tempatnya untuk mengatakan itu.
Si pria bertopeng itu bijaksana, jadi dia sangat sadar bahwa dia tidak memiliki kekuatan untuk menghentikan Forgan.
Jadi... Apa yang harus kulakukan? Apa yang ingin kulakukan? Apa yang paling penting?
Karena suatu alasan yang tidak diketahuinya, para orc dan undead Forgan berkumpul di ujung jalan yang menuju ke arah sebaliknya dari gerbang utara. Apakah ada seseorang di sana yang membuat mereka tertahan?
Seharusnya seseorang itu merupakan tentara sukarelawan.
Jangan-jangan itu? pikir si pria bertopeng. Jangan-jangan itu apa? Seseorang yang dia kenal? Itu tidak mustahil. Tapi memangnya kenapa? Apa itu penting jika dia memang mengenal mereka?
Apa-apaan ini, apakah aku penasaran?
Dia bisa menerobos kerumunan anggota Forgan untuk sampai ke sana. Tapi itu hanya akan menjadi rencana yang bodoh. Jadi, apa yang akan dia lakukan sebagai gantinya?
Bangunan-bangunan di jalan ini tidak terbakar. Dia tidak ragu. Si pria bertopeng itu berlari menaiki permukaan dinding salah satu bangunan untuk ke atas. Melihat ke kejauhan dari atap — di sanalah mereka.
Seorang tentara sukarelawan. Mempunyai rambut panjang. Gendernya adalah wanita.
“...!”
Pria bertopeng itu meremas dadanya. Jika dia bisa memegang hatinya, maka dia mungkin telah memegang dan meremasnya.
Dia hampir memanggil namanya. Nyaris saja dia berhasil menghentikan dirinya sendiri. Wanita itu bukan satu-satunya orang yang ada di bawah sana. Ada lagi yang lain. Seorang manusia, bukan orc, atau pun undead.
Seorang pria berlengan satu sedang melawannya. Apakah dia sedang melakukan duel dengan wanita itu?
Wanita itu hanya memiliki dua pisau besar. Sementara itu, si pria berlengan satu itu mempunyai sebuah katana.
"Bajingan itu..."
Apa yang dia pikir sedang lakukan? Lawannya hanyalah seorang wanita. Tunggu dulu, pria tua itu tidak suka menyiksa wanita. Sebenarnya, meskipun dia mungkin tidak menunjukkan empati kepada yang lemah, dia tidak pernah berusaha menyiksa mereka. Dia pasti telah memutuskan bahwa, wanita atau bukan, musuhnya sekarang itu cukup baik sehingga perlu dia tebas. Bahkan jika pria berlengan satu itu juga hanya memiliki satu mata, dia merupakan seseorang yang bagus dalam menilai orang lain.
“Apakah itu berarti dia menjadi lebih kuat? Tetapi tetap saja..."
Wanita itu membuang pisaunya. Apakah itu disengaja? Memangnya apa yang bisa dia lakukan dengan tangan kosong? Saat dia maju, pria tua itu mulai menggerakkan katananya.
"Lihatlah jurus rahasiaku."
Bahkan si pria bertopeng tak tahu tentang itu. Apa-apaan dengan cara katananya bergerak itu?
Pedangnya tampak menari. Atau bahkan mungkin tampak banyak.
"Fall Haze."
Dia maju ke arah pria tua itu, seolah-olah terpancing. Bukan ‘seolah-olah’, tapi dia memang sedang dipancing. Katana pria tua itu telah membuatnya terpesona.
Apa sih yang kau lakukan? Apa yang akan kau lakukan pada wanita itu?
Pada tingkatan ini, dia akan terbunuh. Tidak, bahkan si pria tua cabul itu tak akan bertindak sejauh itu. Ya, tentu saja itu belum tentu. Benar-benar mungkin ia akan melakukan itu. Dia bisa melakukan itu. Bukan berarti kalau aku akan membiarkan dia melakukan itu.
“Jurus Rahasia!” Pria bertopeng itu menarik katananya dan melompat. Dia langsung menjatuhkan diri ke arah pria tua itu.
“Great Foul Waterfall...!” Katana pria bertopeng itu mengenai katana pria itu dengan keras.
"Ngh...!"
Pria tua itu memang seperti reputasinya, berhasil mempertahankan cengkeraman pada katananya bahkan ketika katana itu hampir terhempas dari tangannya, dan masih bisa mengayunkan katananya meskipun serangan yang satu itu asal ke arah si pria bertopeng.
"Kenapa kau...!"
"Kau kalah, pak tua!"
Si pria bertopeng memutar tubuhnya keluar dari jalur katana pria tua itu dan balik mengayunkan katananya sendiri. Si pria tua Takasagi berhasil menangkisnya entah bagaimana, tapi dia tidak berada dalam posisi yang cukup baik. Dia berantakan.
“Orah, orah, orah, orah, orahhh…!”
Dengan melakukan serangan, serangan, serangan, serangan, serangan, si pria bertopeng mendorong,
mendorong, dan mendorong. Tetapi bahkan dengan kerugian yang begitu besar sejak awal, Takasagi bukan lah sembarang pria tua. Dia menangkisnya, meskipun tidak sempurna. Menghindar dengan jarak selebar rambut. Dia berdiri di sana, bertahan, dan mencari celah yang tidak lebih besar dari lubang jarum untuk menyerang.
Aku mengenalmu, pikir si pria bertopeng. Kau pikir sudah berapa kali kita pernah bertarung?
Takasagi lemah terhadap serangan yang datang dari kiri bawahnya, dan meresponnya sedikit lebih lambat. Meskipun begitu, jika si pria bertopeng hanya menargetkan bagian sana, si pria tua itu akan beradaptasi dengan serangan tersebut dalam waktu singkat. Takasagi hanya sedikit lebih buruk dalam menangani serangan dari sudut itu. Itu bukan kelemahan yang fatal. Jadi, si pria bertopeng juga perlu mencampurkan serangan lain. Berpura-pura seperti akan menyerang titik lemahnya, lalu berhenti melakukan itu di tengah jalan. Lalu, ketika Takasagi berpikir, Apa? Kau tak akan lakukan itu? Dia akan melakukan itu.
"Breng... sek... !"
Takasagi mundur. Dia tidak meluncurkan serangan balik. Bukan itu, tapi lebih tepatnya dia tak bisa. Si pria bertopeng mengikat Takasagi.
“Oorah!” Dia membidik ke kiri bawah.
“Cih!” Takasagi menangkisnya dengan katananya. Tidak, bukan itu. Dia terpaksa melakukannya.
Si pria bertopeng memegang katananya dengan kedua tangan.
“Jurus Rahasia! Flying Lighting God...!”
Itu adalah tusukkan dua tangan. Berapa banyak yang bisa dia lakukan?
Jangan pikirkan itu. Aku akan melampaui batasku.
Berikan semua itu padanya.
“Ohh?! Ohhhh...?!”
Takasagi juga langsung melepaskan pembatasnya. Si pria bertopeng bisa tahu. Jika dia tak lakukan itu, maka tamat lah sudah. Itu lah yang Takasagi putuskan.
Whoa.
Berapa banyak tindakan defensif yang dilakukan Takasagi dalam satu serangan instan terkompresi tadi? Si pria bertopeng melepaskan delapan tusukan. Katananya saling berbenturan dengan milik Takasagi sebanyak empat kali. Dia telah memotong dua helai rambut kepala Takasagi. Takasagi terkena satu goresan pipi kanannya.
Itu saja.
Si pria bertopeng itu sungguh-sungguh bertarung dengan niat membunuh. Untuk mengakhiri ini di sini. Itulah yang ingin dia lakukan. Dan inilah hasilnya. Takasagi jatuh tersungkur. Namun, si bajingan itu tersenyum.
Dia tahu bahwa jika dia melepas topengnya, dia juga akan melakukan itu. Si pria bertopeng merinding. Dia mengistirahatkan sisi datar katananya di bahu.
"Bangun lah, pak tua."
Takasagi bangkit tanpa mengudara. Dia berdeham, dan tertawa terbahak-bahak, seperti sedang bersenang-senang, dan tidak malu sedikit pun ketika melakukannya.
“Kau sekarang hanya muncul ke mana pun aku pergi, ya? Kau sungguh bisa melarikan mulutmu*, Ranta.”
(Berbicara panjang lebar tanpa berpegang teguh pada topik atau sampai ke tititk)
"Kau...! Jangan katakan itu! Aku menyembunyikan wajahku karena suatu alasan...!”
"Itu sudah terlalu jelas, dan kau tahu itu."
"T-Tidak, itu tak benar!"
Ranta melirik ke belakangnya. Wanita itu sedang menatapnya.
Wajahnya tampak mengenaskan.
Dia berantakan, penuh goresan, kotor dengan darah dan keringat, dan, untuk melengkapi semua itu ...dia juga tampak seperti sedang menangis.
Ranta segera membuang muka, dan menghadap ke depan lagi.
“Kau bisa bergerak, kan?
“...Y-Ya.”
"Bagus lah. Kalau begitu ikut denganku.”
"'Ikut denganku'...?" Takasagi mengarahkan katananya ke Ranta dengan tidak percaya. “Kau mau kabur, Ranta? Kau terlalu menganggapku enteng. Apakah kau benar-benar berpikir bisa lolos dalam situasi seperti ini? ”
“Hah! Kau lah yang meremehkanku.”
Di balik topengnya, Ranta menyeringai, menyarungkan katananya. Dia mengambil banyak pisau, silet, paku, batu, dan banyak lagi yang dia simpan di balik jubahnya sebanyak mungkin.
"Jurus Rahasia, Violent Wind of War Debris...!"
Dia melompat, lalu berputar-putar sambil melempar pisau, silet, paku, dan batu ke arah Takasagi, para orc, dan undead. Itu mudah untuk dikatakan, tapi sebenarnya cukup sulit untuk dilakukkan. Ranta telah yakin bahwa suatu hari nanti akan tiba saatnya untuk menggunakan teknik ini, jadi dia berlatih keras untuk bisa melakukannya. Dan ini lah hasilnya.
"Ap— Sialan...!" Takasagi mengenyahkan pisau itu darinya.
Pada saat itu, Ranta telah mendarat, dan berlari.
Selagi Violent Wind of War Debris berlangsung, Ranta telah menemukan titik lemah dalam pengepungan mereka. Dia berlari ke arah itu melewati celah dua orc. Saat menghunuskan katananya lagi, dia membuatnya terlihat seperti akan menebas undead yang ada di depannya, tapi malah mendekat dan mendorongnya. Dia tak perlu berbalik dan memeriksa. Yume mengikutinya. Lebih dari itu, dia berada di sampingnya sambil menendang para orc dan undead, atau membuat mereka tersandung. Sial, wanita itu bisa melakukan pekerjaan kaki yang mengerikan.
"Kau lah yang terbaik...!"
“Nuhh?! Apa yang barusan kau katakan?!”
"Bukan apa-apa!"
“Ranta, kau…!”
Takasagi melolong seperti anjing yang dipukuli. Dia hanya terdengar sedikit senang.
Kau membuatku takut, pak tua. Jangan khawatir. Aku akan menghabisimu sendiri suatu hari nanti. Itu yang kau mau, kan? Kau tak ingin menjadi pikun dan menjadi tak bisa melihat kematian datang, mati setelah melemah karena penyakit yang lama, atau hanya tidak bangun pada suatu hari. Aku tahu kalau kematian yang mudah seperti itu bukan lah untukmu.
Pada akhirnya, kau ingin dipuaskan bahwa, ya, inilah yang akan membunuhmu.
Jika memungkinkan, kau ingin kematian itu berada di tangan pria yang kau latih.
Apakah orang-orang cenderung berpikir seperti itu ketika mereka merasakan diri mereka sendiri akan mengalami kemunduran? Ranta masih belum tahu. Tapi ketika saatnya tiba, dia akan memberi Takasagi kematian yang dia inginkan. Tidak sekarang. Itu masih belum datang. Mungkin besok, tapi tidak hari ini.
Begitu Ranta benar-benar menerobos pengepungan Forgan, dia pergi menyusuri sebuah gang.
"Kau tak lelah, kan?!"
"Bagaimana denganmu?!"
“Sepertinya kau baik-baik saja. Kita akan keluar dari Altana untuk saat ini!”
Dia ingin melihat-lihat Altana untuk memahami situasinya. Bukannya dia tak mampu meluangkan waktu untuk itu. Tapi insting Ranta sudah mengatakan padanya bahwa ini adalah pertempuran yang sia-sia. Altana akan jatuh. Tinggal di kota ini hanya akan membahayakan. Ranta bisa bertahan sendiri jika dia berniat untuk melakukan itu. Dia akan bisa mencari tahu sesuatu yang penting. Tapi... Yume juga ada di sini.
Gerbang utara pasti telah ditembus, tetapi akan ada orang-orang di sana yang menargetkan siapa pun yang mencoba melarikan diri. Sementara itu, dinding bukan lah medan pertempuran utama lagi, dan hampir tak ada pertempuran yang terjadi di sana. Dari dalam, ada beberapa anak tangga dan tangga yang membuat mereka bisa naik ke dinding, dan begitu mereka berada di atas sana, mudah
untuk turun ke sisi lain.
Ranta dan Yume menuju ke hutan di utara. Tepat sebelum masuk, Yume berbalik untuk melihat kembali ke Altana.
“Ayo pergi,” kata Ranta sambil menarik lengan Yume. Dia tidak melawan.
Kegelapan hutan yang pekat adalah sekutu Ranta. Meskipun dia sepenuhnya bertarung menggunakan gaya uniknya sendiri, dia masih lah seorang Dark Knight. Kegelapan adalah temannya. Tiba-tiba, dia punya pemikiran. Apa yang terjadi dengan para Lord dari Guild Dark Knight? Mengenal mereka, dia berpikir mereka akan berjuang sampai akhir, bahkan jika pertempuran itu sudah pasti tak dapat dimenangkan. Mereka akan pergi ke pelukan Skullhell setelah berjuang dengan sepenuh hati.
Ranta menyadari bahwa dia masih memegang tangan Yume, dan tidak pernah melepaskannya. Bukan berarti dia lupa akan hal itu tadi. Malahan dia tidak pernah lupa akan kenyataan bahwa dia masih melakukan itu.
Kenapa? Kenapa dia tak marah, dan menyuruhku untuk melepaskannya?! Jika dia tidak melakukan itu, maka aku tak bisa melepaskannya. Pikirkan lah dengan akal sehat. Bukan berarti kalau akan ada akal sehat yang berhubungan denganku sih.
Ayolah, katakan sesuatu.
Yang bisa dia dengar selain suara dari serangga yang berkicau, adalah suara Yume bernapas, dan kedua langkah kaki mereka.
“... Hm?” Ranta berhenti.
"Ah!" Yume menelan ludah. Mereka mendengar sesuatu segera setelah itu. Apakah itu suara anjing?
Atau mungkin serigala?
Awooo... Terdengar suatu lolongan lemah. Ini adalah pertama kalinya Ranta mendengar lolongan yang seperti itu, tetapi tampaknya hal tersebut tidak berlaku bagi Yume.
"Master! Apakah itu kamu, Master?! Ini Yume!”
"Ohh! Aku tahu kalau itu kau!” Dia mendengar suara pria dari kejauhan.
"Siapa?" tanya Ranta saat Yume dengan mudah melepaskan diri dari tangannya.
“Master Yume dari Guild Hunter! Namanya Itsukushima!”
“...O-Oh, ya? Tunggu dulu, apakah kau tak terlalu bersemangat? ”
“Yah, itu karena Yume senang!”
Ranta bingung karena mendapati dirinya sedikit kesal karena itu. Dia tidak mengenal pria Itsukushima ini, tapi dia sadar bahwa Yume cukup menempel dengan Masternya di Guild. Jadi tentu saja dia akan senang kalau mengetahui bahwa dia baik-baik saja.
Tak ada yang perlu kukesali, pikirnya. Ya. Itu tak berguna bagi pria super toleran sepertiku.
Segera setelah itu, seorang Hunter berjanggut muncul bersama dengan delapan anjing serigala di belakangnya.
"Master!"
Yume memeluk Itsukushima, dan meskipun pria itu terhuyung-huyung ke belakang saat dia mencoba menyeimbangkan tubuhnya, dia balik memeluknya.
“O-Oh, Yume, aku senang. Aku sangat senang kau baik-baik saja…”
“Kita terpisah, kau tahu? Yume benar-benar khawatir saat itu.”
“Tentu saja, aku juga mengkhawatirkanmu, tapi aku punya orang-orang kecil ini untuk dipikirkan. Jadi aku keluar dari Altana sebentar dulu…”
“Kamu membicarakan tentang para anjing serigala, kan? Mereka semua ada di sini, ya?”
“O-Oke! Cukup sudah! Kalian berdua bisa berhenti saling menempel sekarang!"
Karena tidak tahan lagi, Ranta menarik Yume dan Itsukushima tanpa dia sadari. Yume tidak senang karena itu, tapi sepertinya Itsukushima merasa terbantu saat Ranta melakukan itu.
“Dengar, Yume. Aku berniat untuk mencarimu sebelum melakukan gerakan lain, tapi sepertinya aku sudah tak perlu melakukan itu. Aku akan pergi ke Pegunungan Kurogane.”
“Hah?” Yume memiringkan kepalanya ke samping. "Pegugusan Kuso Dare...?"
"Namanya bahkan tidak terdengar seperti itu!" Ranta tak tahu apakah harus tertawa atau kesal. “Namanya adalah Pegunungan Kurogane, bukan Pegugusan Kuso Dare!”
“Yah, tapi memang seperti itulah kedengarannya bagi Yume.”
“... Ironblood Kingdom para dwarf ada di Pegunungan Kurogane.”
Ranta tak butuh Itsukushima untuk mengatakan itu padanya.
"Jadi? Kau kenal dwarf yang ada di sana, atau apa?”
“Ya, dia merupakan salah satu dari sedikit temanku. Gottheld. Dia bisa menjadi menyusahkan, tapi dia pria yang baik."
“Sepertinya kau punya lebih banyak pemikiran ketimbang menyalakan kembali persahabatan yang lama saja.”
"Ya. Dari caraku melihatnya, Altana akan jatuh. Aku juga yakin bahwa ibu kota elf, Arnotu, pasti telah disingkirkan seperti yang dikatakan oleh rumor.”
"Kau bisa mengambil persetujuan itu dariku, kalau memang benar." gerutu Ranta. “...Bukannya aku mau menjadi pembawa berita buruk. Aku berada di Shadow Forrest pada saat Arnotu diserang.”
"...Oh ya? Kalau memang begitu, maka Iroonblood Kingdom lah yang akan menjadi target berikutnya. Mungkin Pegunungan Kurogane merupakan tempat perlindungan terakhir kita.”
"Jadi kau akan pergi ke sana untuk memperingati mereka?"
“Ada waktu ketika manusia dan dwarf bertarung sampai mati bersama. Sudah jelas, kalau itu bukan lah masalahku, tapi... aku tak ingin berbaring santai saja.” Itsukushima menatap Yume. “Apa yang ingin kamu lakukan? Maukah kamu ikut denganku?”
"Yume ..." Dia ragu-ragu, seolah-olah tidak yakin, lalu menatap lurus ke arah Itsukushima dan menggelengkan kepalanya. “...tidak akan pergi. Lagipula Ranta bersama dia. Selain itu, masih ada lebih banyak rekan yang ingin kita temui.”
"Apakah begitu?" Itsukushima terlihat kecewa, tapi juga lega. Mungkin keduanya. Pria itu terus terang tentang perasaannya.
"Beri hormat, anak-anak."
Ketika Itsukushima memberi perintah itu, delapan anjing serigala berkumpul sekitar Yume. Mereka menjilati wajahnya, mengendus-ngendus, dan menggaruk-garuk seluruh tubuhnya, tapi Yume tampak sangat senang karenanya.
“Mrrowr. Hati-hati ya, para anjing serigala. Nyeheheh, sampai jumpa lagi nanti, Poochie.”
“Hey,” Itsukushima memanggil Ranta. “Jaga Yume, oke?"
"Aku akan melakukan itu bahkan tanpa kau suruh."
“...Coba lah pikirkan bagaimana perasaanku yang harus bersikap serius ketika aku mengatakan ini pada orang aneh yang menyembunyikan wajahnya di balik topeng.”
“Heh.” Ranta menggeser topengnya hingga ke dahinya. “Tenang saja, dan pergilah ke Pegunungan Kurogane, atau ke mana pun itu.... Dan jaga lah dirimu, bung. Yume akan sedih jika kau mati di selokan suatu tempat.”
"Ya. Aku pandai bertahan hidup.”
Itsukushima meneriakkan perintah singkat ke para anjing serigala dan memberi isyarat agar mereka berbaris. Anjing terbesar, dan mungkin tertua, adalah yang pertama pergi, lalu menghilang ke dalam hutan yang gelap.
“Poochie…” Sepertinya Yume ingin mengatakan sesuatu, tapi mempertimbangkan itu kembali, lalu memutuskan bahwa dia tidak boleh menghalangi jalan para anjing serigala.
Para anjing serigala terus berjalan, dan Itsukushima mengikuti. Pastinya dia sengaja tidak mengucapkan selamat tinggal. Ketika Ranta memikirkan tentang perasaan Itsukushima, dia merasakan sesuatu meremas dadanya. Yume menghormati dan mengagumi pria berjanggut itu. Ranta mungkin tidak menyukai fakta bahwa dia menyukainya, tapi dia tahu kalau Itsukushima bukan lah pria yang jahat. Dia tak bisa memaksakan dirinya untuk membenci pria itu.
Yume terdiam, meskipun Itsukushima dan para anjing serigala benar-benar telah menghilang. Ranta
mempertimbangkan untuk bertanya, Apa kau tak apa-apa? tapi urung untuk melakukan itu. Dia tidak perlu menanyakan hal tersebut. Yume tetap tinggal di sini karena dia baik-baik saja dengan itu. Dia memilih untuk bersamanya. Yah, bukannya Ranta tidak bisa ikut dengan mereka, tapi dia dan Yume punya hal lain yang perlu mereka lakukan.
“...Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan sekarang?” gumam Ranta pada dirinya sendiri, dan Yume tertawa.
“Yume pikir semua masalah yang datang akan terselesaikan entah bagaimana. Bagaimanapun juga, dia berhasil bertemu denganmu sebagai salah satu contohnya.”
“Heh...”
Dia hendak menjawab, kau benar, ketika kenyataan bahwa dia sendirian dalam kegelapan dengan Yume menghantamnya, dan mulai merasa sangat gelisah.
“A-... Apa yang harus kita lakukan? Altana, yah, kau tahu lah, dan mungkin bukan ide yang baik untuk mencoba dan melakukan sesuatu segera... Selain itu, kau terluka, dan mungkin juga lelah…”
"Ya. Hari 'dah mulai gelap. Dan ini juga udah malam, kau tahu? Mungkin kita harus istirahat sebentar.”
“T-Tentu saja. Itu masuk akal. Ya. A-Aku juga. Aku tidak lelah atau apa pun sih. Maksudku, aku pria yang tangguh, jadi aku masih baik-baik saja sekarang, tapi istirahat juga bisa menjadi penting. Ya, itu benar..."
"Kalau gitu, ‘yuk kita tidur," kata Yume, dan segera berbaring.
“D-Disini?! Serius nih?!”
“Ahhh. Yume, dia bisa tidur dimana aja. Tanahnya juga tidak terlalu keras sini.”
“...Y-Yah, aku juga bisa tidur di mana saja sih. Aku itu seorang pria sekeras baja, kau tahu..."
Ranta juga berbaring di tanah. Dia pernah tidur di tebing berangin sementara terkena hujan saat melakukan itu. Dibandingkan dengan hal tersebut, yang ini seperti tempat tidur yang nyaman.
"Kau, eh ..."
“Nuh?”
“... Dah lah. Lupakan aja tadi itu."
Dia punya banyak hal yang ingin dia katakan, tapi jika dia mulai mengajukan banyak pertanyaan sekarang, maka itu tidak akan ada akhirnya. Bukankah dia akan beristirahat? Ya. Dia perlu sedikit pulih. Baik tubuhnya maupun jiwanya. Itu lah prioritas utamanya. Apa yang akan mereka lakukan selanjutnya? Dia bisa memikirkan itu nanti.
“Ranta.”
“... Hm?”
“Ini agak...”
"Ya.... Kenapa?"
"Kakimu."
"...Hah?"
"Ups, maksud Yume tanganmu."
"Ada apa dengan tanganku...?"
"Hnngh." Tangan Yume menyentuh tangan Ranta. Kemudian dia meremasnya. “Yume harap dia bisa memegangnya seperti ini.... Gak papa kan?”
“Itu—” Ranta berhenti bernapas sejenak. Kemudian dia menarik nafas pendek, dan dia hembuskan. “...Gak papa bagiku sih. Bukan masalah besar kalau itu mah."
"Oh ya? Syukurlah..."
Yume terlihat sangat mengantuk.
Ranta terjaga.
Hei, sekarang.
Ayolah...
Melakukan ini? Dalam situasi seperti ini? Tidak mungkin aku bisa tidur, kan...?

Komentar
Posting Komentar