Haruhiro meninggalkan rumah penginapan tentara sukarelawan sendirian untuk kembali ke alun-alun. Dia bermaksud untuk kembali ke rekan-rekannya, tetapi sebelum dia bisa sampai ke sana, dia ditemukan dan dihadang oleh Neal.
“Dari mana kau pergi barusan?”
“Hanya untuk buang air kecil.”
"Kau cukup lama melakukan itu."
"Perutku sakit."
"Kau makan sesuatu yang tak cocok denganmu?"
Neal secara terbuka mencibirnya saat dia menanyai itu. Haruhiro mengerutkan kening, dan mengusap perutnya.
“Ya… Hampir setiap hari, kau tahu?”
"Benar juga, ya."
Neal tertawa dan menepuk pundak Haruhiro. Dia berharap pria itu tidak menyentuhnya seenak jidat. Tapi dia bisa tahan dengan ini. Itu mudah.
"Pokoknya, aku akan kembali."
"Ok, silahkan."
Neal tidak mengikutinya. Gak juga sih, itu tak sepenuhnya benar. Meskipun dia tidak berdekatan dengan Haruhiro, dia tetap membuntutinya dari kejauhan. Ketika Haruhiro berbalik dan menatap matanya, Neal mengangkat tangannya. Dia bahkan tak berusaha untuk menyembunyikan kenyataan bahwa dia sedang mengawasi mereka. Tak ada yang benar-benar berubah dari sebelumnya.
Kuzaku dan yang lainnya telah pindah ke tepi alun-alun.
“Jadi, beberapa prajurit yang mabuk mencoba untuk macam-macam dengan Setora-san dan Merry-san,” kata Kuzaku padanya yang terdengar marah. “Aku menjadi agak liar pada mereka. Tentu saja aku menahan diri ketika melakukan itu.”
“Dasar para sampah …” Merry terdengar lebih ke putus asa daripada marah, sementara Setora tampak sama sekali tidak terpengaruh.
"Jadi?" tanyanya pada pemimpin mereka.
“Ya…” Haruhiro menatap setiap rekannya. “Aku ingin kalian semua mendengarkanku seperti sedang mendengarkan cerita paling membosankan yang pernah ada.”
"Apa maksudmu? Sekarang kau membuatku sangat tertari—ow!” Kuzaku kesakitan karena pukulan ke rahang dari Setora, dan memasang ekspresi cemberut campur sedih. “...Ayolah, aku juga ngerti maksudnya kok. Bahkan aku bukan lah orang yang gak peka sampai segitunya. Aku hanya bercanda tadi."
“Bicaralah pada kami seolah-olah kau sedang mengatakan sejenis anti-humor tak berguna yang cenderung Kuzaku semburkan, Haruhiro.”
"...Siap."
Haruhiro mengungkapkan rencananya dengan nada yang sama seperti yang Kuzaku gunakan saat menceritakan lelucon yang tidak akan ditertawakan oleh siapa pun. Merry berjuang untuk menyembunyikan hal itu mempengaruhi dirinya ketika nama Yume muncul. Namun, yang lainnya mendengarkannya seperti ketika mendengarkan seseorang menceritakan lelucon yang tidak lucu.
“Ini bukan masalah ‘lakukan atau tidak’,” kata Setora dengan desahan yang mengatakan bahwa dia tidak ingin berurusan lagi dengan omong kosong yang baru saja dia semburkan. "Itu adalah tentang ‘apakah kita akan mengakhiri semuanya di sini atau tidak’."
"Aku setuju," Merry mengangguk.
"Ayup," kata Kuzaku yang mana itu terdengar sangat konyol.
Kiichi mengeong pendek dan konyol.
Di kejauhan, mereka mendengar orang-orang memuji Jin Mogis.
“Jin Mogis!”
"Untuk Tentara Perbatasan!"
"Kita bukan Pasukan Ekspedisi lagi!"
“Tentara Perbatasan! Tentara Perbatasan!”
“Untuk Komandan Mogis!”
“Mo-gis!”
Para prajurit mabuk meneriakkan namanya.
“Mo-gis!”
“Mo-gis!”
“Mo-gis!”
Suara-suara menyebar seperti gelombang ke seluruh alun-alun.
Mogis berjalan-jalan dengan santai bersama Prajurit Berjubah Hitam di belakangnya.
Saat ini, hanya ada satu Prajurit Berjubah Hitam di dekat gerbang utama Menara Tenboro. Dia juga melihat ke arah Mogis.
Neal dan si scout yang bekerja di bawahnya mengawasi Haruhiro dan anggota kelompok lainnya seperti biasa.
Sambil berpura-pura menonton Mogis seperti orang yang linglung, Haruhiro berpikir, Mereka masuk.
Ranta dan Yume telah menyusup ke Menara Tenboro. Semuanya sesuai rencana. Jika tidak ada keributan sekarang, maka artinya mereka telah berhasil masuk tanpa terdeteksi oleh para Prajurit Berjubah Hitam.
Mogis menuju ke meja yang telah disiapkan khusus untuknya di depan gerbang utama. Namun, kelihatannya dia tidak berniat untuk duduk di sana. Apakah sudah waktunya bagi dia untuk masuk ke Menara Tenboro? Tidak, bukan itu juga. Dia berdiri di depan gerbang, dan berbalik untuk melihat ke para prajurit.
“Selamat datang di perbatasan.”
Suaranya yang nyaring membuat setiap prajurit terdiam.
Mogis melengkungkan punggungnya ke belakang, dan merentangkan tangannya lebar-lebar.
“Aku mengundang kalian semua untuk memikirkan apa yang ingin kalian raih di tanah baru yang tangguh ini. Semuanya. Di sini, kalian akan memiliki semua yang kalian inginkan. Perbatasan itu sendiri adalah milikmu untuk diambil.”
“Moooooooooooogis!” teriak seorang prajurit.
Dengan teriakan itu, semangat yang memenuhi alun-alun meletus.
“Mogis!”
“Raja Mogis!”
"Ambil takhtanya!"
“Mogis!”
“Hidup Jin Mogis!”
“Hidup Jin Mogis!”
Mogis mengangguk sekali, lalu berbalik untuk pergi.
Dia memasuki Menara Tenboro.
Tiga dari Prajurit Berjubah Hitam yang telah bersamanya tetap di pintu masuk utama.
“Hanya satu, ya?” bisik Setora.
“Ayup,” Kuzaku setuju dengan ekspresi konyol di wajahnya, dan menggeliat-liat. “Kau tahu. Aku merasa sangat lelah.Kita juga punya hal yang harus dilakukan besok. Selain itu, aku sudah kenyang.
Bagaimana kalau kita tidur saja?”
"Dia ada benarnya." Merry menatap Haruhiro. “Bagaimana kalau kita kembali ke kamar kita saja?”
"Oke."
Mereka menerobos kerumunan yang bersemangat untuk menuju ke Menara Tenboro. Neal dan scoutnya bergerak mengikuti mereka. Mereka masih tidak melepaskan pandangan dari party itu, tapi kerumunan prajurit yang mabuk menghalang mereka sedikit.
Ada empat Prajurit Berjubah Hitam di gerbang, termasuk yang sudah ada di sana sepanjang waktu. Masih dipertanyakan apakah mereka akan membiarkan party itu masuk dengan mudah.
Seperti yang telah diduga, para Prajurit Berjubah Hitam bergerak untuk menghalangi jalan mereka.
“Kami lelah, dan kami sudah ingin tidur,” kata Haruhiro sambil mempertahankan ketenangannya.
Para Prajurit Berjubah Hitam saling memandang. Kuzaku menjilat bibirnya. Bahkan setelah sampai sejauh ini, Haruhiro bertanya pada dirinya sendiri, Apakah ini baik-baik saja?
Ya, ini baik-baik saja.
“Ini lah hal tentang membuat keputusan,” Ranta menguliahinya di rumah penginapan. “Pada dasarnya, kau harus menentukkan peringkat prioritasmu, kemudian menerima bahwa kau harus menyerah pada segalanya kecuali yang teratas. Karena, di sebagian besar waktu, kau hanya bisa memilih satu hal. Kau tak bisa mengatakan aku ingin ini, dan aku ingin itu.”
Dia tidak bisa memaksakan dirinya untuk menyukai Ranta. Pemikiran itu juga mungkin berlaku sebelum Haruhiro kehilangan ingatannya.
“Haruhiro, apa hal terpenting bagimu saat ini? Apa yang harus kita lakukan?"
Kenapa aku harus melakukan apa yang kau suruh? Haruhiro mau tak mau membiarkan perasaan itu menghalanginya.
“Kau pemimpinnya, kan?”
Tapi Ranta mengatakan ini pada Haruhiro:
“Jika kau membuat keputusan apa pun itu, kami akan mengikutinya. Jadi jangan bimbang. Tunjukkan lah pada kami jalannya. Kau lakukan itu, dan kami akan membawamu ke tujuan tersebut."
Apa-apaan itu?
Bagaimana kau bisa terdengar begitu dapat diandalkan?
Padahal kau hanya lah Ranta, sialan!
Salah satu Prajurit Berjubah Hitam memberi isyarat dengan dagunya. Mereka semua minggir untuk membuka jalan. Ternyata itu artinya, Biarkan mereka lewat.
Mereka memasuki Menara Tenboro melalui gerbang utama dan menuju ke kamar mereka. Atau, setidaknya mereka membuatnya terlihat seperti itu, dan mereka malahan memeriksa tangga ke lantai dua. Tidak ada Prajurit Berjubah Hitam.
Orang-orang di gerbang utama melihat ke luar.
Haruhiro menunjuk ke tangga dengan matanya. Yang lainnya mengangguk.
Apa yang paling penting bagiku? Rekan-rekanku. Itu sudah jelas. Kita akan menyelamatkan Shihoru. Itu lah prioritas utama kita.
Hubungan mereka dengan Jin Mogis itu rumit, dan mereka juga berhubungan dengan kepentingan Korps Tentara Sukarelawan. Selain itu, terlepas dari apakah dia pantas mendapatkan gelar itu atau tidak, Haruhiro adalah mentor di guild thief. Dia harus menahan diri untuk bertindak gegabah. Jika dia memikirkan semuanya matang-matang, maka dia terpaksa sampai pada kesimpulan itu.
Dia sedang dikendalikan. Mogis mungkin telah melihat melaluinya. Dia tahu kalau Haruhiro tidak bisa berkomitmen untuk mengambil tindakan. Dia tidak bisa membuat keputusan. Mogis melihatnya sebagai orang yang lemah dan bimbang. Dan, meskipun itu cukup menyedihkan, dia benar. Tanpa Ranta yang mendorongnya untuk mengambil tindakan, Haruhiro tak akan bisa bergerak, dan hanya bisa mengambil tindakan saat kejadiannya telah terjadi.
Mereka menaiki tangga. Tak ada jalan untuk kembali sekarang. Dia juga tidak punya niatan untuk melakukan itu.
Ketika mereka sampai di lantai dua, pria bertopeng itu sudah menunggu. Serta Yume.
“...!”
Saat Merry melihat Yume, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Mata Yume berbinar-binar, dan dia melambaikan kedua tangannya ke arahnya. Haruhiro berjalan ke arah pria bertopeng itu dan berbisik, “Lepaskan benda itu.”
"Sia-sia saja.... Kami telah menggeledah kamar pria itu, tapi tidak menemukan apa-apa.”
"Di mana Mogis?"
"Yang pasti dia tidak naik ke lantai tiga."
"Di ruang perapian, mungkin?"
"Di mana pun dia berada, kita harus melakukan ini dengan cepat."
"Ya."
Haruhiro mencoba maju. Tapi kakinya tidak mau bergerak. Sebelum Haruhiro bisa mengatakan apa-apa, Ranta menyuarakan keprihatinannya padanya.
“Keamanannya longgar. Apakah itu mengganggumu?”
"...Yah begitulah."
"Jika kita berniat untuk mundur, maka sekaranglah waktunya."
"Kita... tidak akan melakukan itu."
"Tidak bisakah kau mengatakan itu dengan lebih percaya diri?"
"Oh, diamlah."
Dengan seringai tersembunyi di balik topengnya, Ranta menusuk bahu Haruhiro.
Mereka menuju ke aula sunyi yang terhubung ke ruang perapian. Tidak ada orang lain di sekitar. Setiap kali Mogis berada di ruang perapian, Prajurit Berjubah Hitam di tempatkan di pintu. Tapi itu tidak ada sekarang. Untuk memastikannya, dia membuka pintu, dan mengintip ke dalam. Ruangan itu kosong, seperti yang telah dia duga.
Itu berarti dia berada di aula besar.
Pintu aula besar terbuka lebar. Itu tidak biasa. Pintu-pintu itu bahkan dilengkapi dengan alat yang bisa digunakan untuk mencegahnya bisa tertutup. Tapi kenapa itu terbuka sekarang?
"Dia mengundang kita masuk," bisik Setora.
Tampaknya itu adalah asumsi yang sangat mungkin.
Mogis mungkin telah mengira bahwa Haruhiro akan mengambil tindakan. Tidak diragukan lagi para Prajurit Berjubah Hitam yang ada di sana akan menjaganya.
“Bukan masalah besar,” saran Ranta. "Jika kita mengalahkan rajanya, maka kita menang."
Seharusnya Mogis tidak tahu tentang Ranta dan Yume. Sejauh yang dia ketahui, hanya Haruhiro, Kuzaku, Merry, Setora, dan Kiichi lah yang ada. Haruhiro menghela nafas.
"Ayo pergi."
"O Cahaya, semoga perlindungan ilahi Lumiaris ada padamu..."
Merry melafalkan dua mantra pendukung sihir cahaya, Protection dan Assist secara berurutan.
Kuzaku maju duluan saat mereka mulai menerobos masuk ke aula besar. Haruhiro, Ranta, Yume, Setora, Kiichi, dan Merry mengikutinya.
Mogis duduk di platform yang telah ditinggikan di seberang dinding, di kursi yang menyerupai singgasana. Dia diapit oleh dua Prajurit Berjubah Hitam di setiap sisinya. Itu membuat jumlah secara total adalah mereka empat orang. Jumlahnya kurang dari yang telah mereka duga.
"Jadi kau sudah datang, ya." Mogis bangkit dari tempat duduknya. Para Prajurit Berjubah Hitam mencoba menghunuskan pedang mereka. Namun, Mogis tidak mengizinkannya. Dia mengangkat tangan untuk membuat mereka berhenti melakukan itu. Dia turun dari platform dengan sendirian.
"Kembalikan Shihoru-san...!" Kuzaku meletakkan tangan di gagang katana besarnya, lalu merengsek langsung ke arah Mogis. Dia tampak siap untuk membelah pria itu menjadi dua dengan
gerakan yang sama seperti biasa pada saat ia akan menghunuskan pedangnya.
Setora, Kiichi, dan Merry mengikuti Kuzaku.
Haruhiro menggunakan Stealth untuk mendekat dari kiri, sementara Ranta melompat ke kanan dengan gerakan seperti belalang. Yume berlari mengejar Ranta sambil membidikkan busurnya dengan anak panah yang sudah terpasasang dan siap dilepaskan.
Mogis menghunuskan senjatanya. Yaitu pedang yang selalu dia bawa.
Kuzaku menghunuskan katana besarnya dan segera menebas secara diagonal.
“Hah…!”
"Ngh...!"
Mogis mencoba menghindar, tapi dia pasti merasa kalau dia tidak akan bisa menghindarinya dengan tepat waktu. Dengan mencengkeram pedangnya memakai kedua tangan, dia menahan katana besar Kuzaku.
Tubuhnya terdorong ke bawah. Mogis menahan tumitnya sekeras yang dia bisa, dan entah bagaimana berhasil menghentikan katana besar itu, tapi Kuzaku masih lah yang lebih kuat di sini.
Dengan teriakan "Yahh!" Mogis menendang perut Kuzaku dan memaksanya mundur.
“Gwah…!”
Kuzaku hanya mundur dua langkah. Mogis segera mengayunkan pedangnya, tapi Kuzaku dengan mudah menangkisnya.
“Hanya itu yang kau punya?!”
“Grr…!”
Mogis menggunakan momentum saat pedangnya di tangkis untuk melompat mundur.
Sudah pasti kalau Mogis memiliki lebih banyak pengalaman. Itu membuatnya tangguh. Bahkan jika Kuzaku bisa mengalahkannya dengan kekuatan belaka, Mogis mungkin masih bisa bertahan entah bagaimana. Dan jika Kuzaku menunjukkan celah sekecil apa pun itu, dia akan melakukan serangan balik. Saat Kuzaku mengira dia akan menang sebenarnya akan menjadi momen yang paling berbahaya.
Aku tak tahu bagaimana pertempuran ini akan berakhir.
Jika pertarungannya satu lawan satu.
Tapi bukan itu yang terjadi sekarang.
Ranta sudah hampir mendapatakan posisi untuk menyerang Mogis. Yume berlutut. Dia bisa menembakkan panahnya setiap saat. Meskipun tergantung pada situasinya, Haruhiro juga mungkin bisa mengalahkan Mogis. Merry akan mendukung mereka dengan sihir cahaya. Bahkan jika Mogis menggunakan taktik yang tidak biasa untuk menargetkan Merry, Setora dan Kiichi ada di sana untuk melindunginya.
Mereka telah membuatnya terpojok. Jin Mogis sudah tak bisa melarikan diri. Tak ada harapan untuk membalikkan keadaan ini. Mengapa dia menghentikan para Prajurit Berjubah Hitam untuk membantunya?
Bahkan jika mereka ikut campur, hasilnya tidak akan jauh berbeda. Prajurit Berjubah Hitam adalah prajurit yang tangguh dalam pertempuran, tapi hanya itu. Bahkan jika mereka semua mengeroyok Kuzaku, dia tidak akan kalah dalam waktu dekat. Gerakan Ranta agak aneh, tapi dia mungkin bisa mempermainkan mereka dengan mudah. Ada sesuatu yang tidak normal tentang kecepatan Yume dan juga fleksibilitasnya yang liar dan mengerikan. Kemudian mereka juga memiliki Merry dan Setora. Bahkan Kiichi bisa menemukan cara yang tak terduga untuk membantu mereka. Jika keadaannya berubah menjadi pertarungan jarak dekat yang kacau, Haruhiro bisa merayap di belakang Mogis dan menempel pada tubuhnya.
Pertempuran telah berakhir sebelum dimulai. Mogis menolak untuk melibatkan Prajurit Berjubah Hitam karena dia tahu kalau mereka tidak akan bisa menyelamatkannya. Dia tidak mengantisipasi kekuatan Ranta dan Yume. Dia tahu kalau tidak mungkin untuk memenangkan pertempuran ini. Mungkin jika dia harus mati, dia ingin terlihat keren ketika itu terjadi.
Yah, tentu saja tidak.
Mogis mengangkat tangan kirinya ke depan.
“Nostarem sangui sacrifice.”
Apa yang sedang dia katakan? Haruhiro tidak tahu. Kata-kata itu terdengar asing di telinganya. Kata –kata itu terdengar seperti semacam mantra.
Mogis mengarahkan punggung tangan kirinya, bukan telapak tangannya, ke arah Kuzaku.
Ada cincin di jari telunjuk tangan itu. Cincin tersebut memiliki permata biru keputihan yang bertatahkan pola seperti bunga.
Cincin itu mengganggu Haruhiro. Dia mungkin tidak pernah memakai itu pada awalnya. Dia mendapatkannya setelah bergabung dengan Hiyo dan Master Menara Terlarang, kan? Apakah dia meminjamnya? Apakah dia memintanya? Apakah itu hadiah? Jika memang demikian, apakah itu hanya lah cincin biasa?
“Ahh...” Suara Haruhiro keluar tanpa diminta. Dia merasa aneh. Jika tubuhnya tiba-tiba di berikan beban sepuluh atau dua puluh kilo, mungkin akan terasa seperti ini. Tapi dia merasa seperti ada sesuatu yang telah diambil darinya, bukan diberikan padanya. Rasanya sedikit seperti saat-saat ketika dia mengalami pendarahan terlalu banyak. Tubuhnya lebih ringan, namun terasa lebih berat, lebih lamban.
Ya. Sesuatu telah diambil dari Haruhiro. Dan bukan hanya dari dia. Mereka semua juga mengalami itu.
Ranta hampir tersandung, dan kesusahan untuk mendapatkan kembali pijakannya. Yume menunduk kan kepalanya dan menurunkan busurnya. Kaki Merry tampak goyah. Kiichi tampak seperti anjing yang disuruh berbaring dengan ekornya rata di tanah. Kuzaku kehilangan keseimbangan, dan jatuh ke belakang.
Apakah bukan hanya party itu yang mengalaminya? Para Prajurit Berjubah Hitam di kedua sisi singgasana bersandar pada pedangnya dan berjongkok dalam posisi yang aneh.
Wujudnya tidak sepenuhnya terlihat, tapi memang ada semacam sedikit riak seperti kabut panas yang menggantung di udara. Tidak, itu tidak tepat disebut menggantung tapi lebih seperti mengalir.
Kabut itu mengarah ke Jin Mogis. Apakah itu mengalir masuk ke dalam dirinya?
“Mmm...”
Kejadian itu terjadi dalam sekejap.
Mogis melangkah maju, dan mengangkat pedangnya.
Atau lebih tepatnya, dari pandangan Haruhiro, Mogis mengangkat pedangnya dari postur rendah, lalu membeku di tempat dengan pedang terangkat.
“Wahh…!”
Di lantai, Kuzaku mencoba meraih lengan kanannya dengan tangan kirinya. Tapi tidak bisa. Karena lengan kanannya telah dipotong.
“Ini luar biasa,” bisik Mogis dengan suara rendah, lalu meregangkan lututnya dan mengayunkan pedangnya seperti seseorang yang berniat untuk mendapatkan darah.
“...!” Kuzaku mengeluarkan teriakan tanpa suara.
Kali ini, lengan kirinya yang kena.
Mogis telah mengirim lengan kiri Kuzaku terbang untuk bergabung dengan lengan kanannya.
Dia cepat. Tapi kecepatannya itu melampaui apa pun yang bisa dijelaskan dengan kata-kata. Tidak mungkin dia bisa secepat ini.
“Kuzaku…!” Merry mencoba bergegas ke sisinya. Haruhiro ingin mengehentikannya. Tapi dia tidak berhasil melakukan itu tepat waktu.
Itu tampak seperti Mogis bergerak lima atau enam meter hanya dengan satu langkah. Seharusnya itu tidak mungkin, tapi memang begitulah kelihatannya.
"Tidak...!" Haruhiro berusaha keras untuk mengatakan itu. Bahkan ketika dia berhasil mengeluarkan kata tersebut, hanya suara kecil yang keluar darinya.
Pedang Mogis menembus perut Merry.
“Guh…!”
Apa yang coba dikatakan Merry?
Ketika Mogis dengan mudah menarik pedangnya, Merry tersungkur ke tanah. Mogis tersenyum.
"Menakjubkan!"
Haruhiro belum pernah melihat senyuman seperti itu sebelumnya.
Perasaan seperti apa yang ada di senyumnya itu? Dia tak bisa membayangkannya. Matanya, alisnya, lubang hidungnya, dan mulutnya, semuanya ditarik ke arah yang berbeda, lalu mengendur, sehingga kau bahkan hampir tidak bisa menyebut itu sebagai senyuman. Itu lah jenis ekspresi yang sedang dia pasang sekarang.
Mogis melompat. Seharusnya tak ada yang bisa melompat seperti itu. Sulit dipercaya. Tapi Haruhiro tak punya pilihan selain percaya.
“Augh…?!”
Pertama, Mogis menendang Ranta. Kecepatanya terlalu cepat bagi Haruhiro untuk bisa melihatnya dengan baik, tapi dia mungkin telah mendaratkan tendangan di antara bahu kanan dan leher Ranta. Topengnya terlepas dari wajahnya, tapi Ranta tidak jatuh ke tanah, dan lebih ke terdorong karena tendangan itu.
Kemudian, pada saat berikutnya, Mogis melakukan tendangan memutar pada Yume.
“Nuh…!”
Sepertinya Yume mencoba memblokir serangan itu dengan lengannya. Jika tidak, maka tendangan itu akan mengenai sisi wajahnya. Tapi tunggu dulu, apa lengannya barusan patah? Ada suatu suara yang mengerikan saat dia terkena tendangan tadi. Dia juga dikirim terbang dan berguling-guling ke lantai.
Haruhiro hanya bisa melihat itu dengan takjub.
Namun, Setora bisa berbuat lebih banyak darinya. Dia coba menusuk Mogis dengan tombaknya.
Tapi Mogis sudah tidak ada di sana.
Mogis menggenggam tombak dengan tangan kirinya. Kenyataan bahwa Setora mampu melepaskan tombaknya dan mundur ke belakang pada saat itu juga menunjukkan bertapa mengesankan refleksnya.
“...!”
Saat dia mencoba melarikan diri ke kiri atau ke kanan, dari semua hal yang bisa saja Mogis lakukan, Mogis malah menginjak dadanya.
Kiichi mengeluarkan ngeongan yang nyaring dan menerkam Mogis.
"Ja-"
Apakah Haruhiro pernah sangat menyadari dengan kesakitan akan betapa tidak berdayanya kata-katanya itu?
Jangan lakukan itu, itulah yang coba dia katakan. Kau tidak boleh melakukan itu. Kumohon, berhenti lah. Kau benar-benar tak boleh.
Tanpa banyak melihat ke arah Kiichi, Mogis dengan mudah memotong tubuhnya.
“Ki—”
Kata-kata Setora juga tak berdaya serta terputus.
Itu karena, Mogis telah menggeser pedangnya ke pegangan backhand. Kemudian, mengayunkan pedangnya ke bawah secara vertikal, dan mengiris tenggorokan Setora.
"Berapa banyak dari kalian?"
Mogis berbalik untuk menghadap ke arah Haruhiro dengan kakinya yang masih ada di dada Setora.
“Berapa banyak dari kalian yang harus kubunuh sebelum kau bersumpah setia padaku? Jika kau lakukan itu sekarang, maka kau hanya akan kehilangan satu binatang yang tak terlalu berarti. Kerugiannya sedikit. Dengan campur tangan priest itu, maka yang lainnya mungkin masih bisa bertahan. Jika kau menolak-"
“...Raaah! Gwahhh...!”
Kuzaku, yang telah kehilangan kedua tangannya, masih berusaha untuk bangkit. Memangnya apa yang akan dia lakukan jika dia berhasil berdiri? Apa yang mungkin bisa dia lakukan dengan keadaan seperti ini?
Ranta kejang-kejang. Seburuk itu kah hanya karena satu tendangan?
Kelihatannya kedua lengan Yume telah patah.
“O… Cahaya… semoga… perlindungan ilahi Lumiaris… ada padamu…”
Merry mencoba menggunakan Cure pada dirinya sendiri. Jika dia tidak menyembuhkan lukanya sendiri terlebih dahulu, maka dia tidak akan bisa menyelamatkan rekan-rekannya.
Tapi jika Mogis memang menginginkannya, maka dia bisa membunuh Merry kapan saja.
Jika dia melakukan itu, maka tak ada satu pun dari mereka yang akan selamat.
Haruhiro merasa sangat takut pada pria itu.
Pastinya dia sengaja melakukan semua itu.
Haruhiro sendiri tidak terluka. Mogis tidak melakukan apa pun padanya. Bekat itu lah, dia jadi merasakan rasa sakit rekan-rekannya yang terluka sekarang.
Sejujurnya, bagi Haruhiro, keadaan ini jauh lebih buruk daripada jika dia berada di ambang kematian itu sendiri.
"Aku mengerti."
Haruhiro menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tak ada harapan.
Kami tak bisa menolaknya.
Satu-satunya pilihan adalah bersumpah setia padanya.
“Aku akan bersumpah setia, jadi.... Jangan bunuh mereka. Tolong, jangan bunuh siapa pun.”
Mogis mengeluarkan suara ‘tut-tut-tuttuu’. Dia mengungkapkan kekecewaannya.
Apa lagi yang dia inginkan?
Haruhiro berlutut, dan menundukkan kepalanya ke tanah.
“...Aku berjanji setia. Tolong, jangan bunuh rekan-rekanku.... Aku mohon padamu."
"Ini yang terakhir."
Akhirnya Jin Mogis mengangkat sepatu botnya dari dada Setora.
“Tak akan ada kesempatan lain.”

Komentar
Posting Komentar