Dia sedang berdiri di depan sebuah batu putih di bukit pada saat badai hujan yang deras terjadi, tetapi itu bukan hal yang tak bisa dia tahan.
Dia tidak sendirian. Ada barisan pria dan wanita yang mengenakan jubah putih di belakangnya.
"Kelihatannya langit sedang menangis ..." kata salah satu dari mereka. Dia mulai berbalik untuk mencari tahu siapa itu, tetapi dengan segera mengurungkannya. Bisa saja itu salah satu dari mereka. Tapi dia tidak peduli. Buat apa dia berbalik?
Batu putih itu bertatahkan bulan sabit dan nama.
Kimura.
Klannya, Orion, telah kehilangan lima orang ketika mengambil alih Mt. Grief. Sang Priest Kimura dan Warrior Matsuyagi gugur saat pertempuran melawan Raja Lich. Sang Thief Tsuguta mencoba membuka gerbang, tetapi mati ketika melakukannya. Kemudian juga Hunter Uragawa dan Mage Tomida yang terperangkap dalam pusaran Dark dari Sir Unchain untuk membantu Detasemen.
Saat dia melihat kelima batu di depannya, dia bertanya-tanya apa sih yang sedang dia lakukan.
Pertempuran telah berakhir. Detasemen hanya kehilangan lima orang, dan semuanya dari Orion. Pasukan Utama kehilangan 70 anggota Tentara Perbatasan, tapi tiga puluh anggota Orion di bawah pimpinan Hayashi semuanya aman, sedangkan Wild Angels, Iron Knuckle, dan Berserker, hanya kehilangan 3 Tentara Sukarelawan.
Operasi itu berhasil. Mereka tidak dapat memusnahkan sisa-sisa Ekspedisi Selatan yang tadinya bersembunyi di kastil tua, tetapi mereka berhasil mengusirnya. Zan Dogran dan para Orc mundur ke utara, sementara para kobold kembali ke Tambang Cirene. Tidak jelas apa yang para Undead lakukan, tetapi jika harus berspekulasi, mayoritas dari mereka ikut Zan Dogran.
5 orang tewas. Itu adalah kehilangan yang menyakitkan, tetapi tidak lah di luar ranah ekspektasi. Dia tidak percaya sedikit pun bahwa mereka akan bisa mengambil alih kastil tanpa kehilangan siapa pun. Seseorang di Orion mungkin akan mati. Atau seseorang di klan lainnya. Satu-satunya kematian yang harus dihindari bagaimanapun caranya adalah kematiannya sendiri. Selama dia tidak mati, maka yang lainnya tidak penting.
Keinginannya telah dikabulkan.
Apa yang sedang dia lakukan di depan kuburan orang-orang mati ini?
Secara intelektual, dia tahu alasannya. Dia sedang mengadakan acara pemakaman yang diperlukan. Ada rekan-rekannya meninggal. Jumlahnya 5. Mereka perlu berduka pada orang mati. Dia perlu menunjukkan kesedihannya atas kehilangan mereka, jadi dia membawa rekan-rekannya yang belum meninggal, menguburkan yang sudah mati, dan memberikan semacam pidato pada mereka. Apa yang dia katakan? Dia benar-benar sudah melupakannya sekarang. Beberapa anggota masih menangis atau merangkul bahu satu sama lain, jadi pastinya dia berhasil melakukan tugasnya tadi.
Cukup sudah. Aku sudah tidak kuat dengan semua ini. Sejujurnya, jika ada satu hal yang kubenci tentang kehilangan rekan, itu adalah kegiatan untuk meratapi mereka sesudahnya. Menyedihkan. Begitu mereka mati, mereka hilang. Apa alasan untuk memikirkan seseorang yang bahkan sudah tidak ada? Bersedih. Berduka. Apa lagi yang lebih sia-sia dari itu?
"Maaf," katanya tanpa berbalik pada rekan-rekannya. "Bisakah kalian memberiku waktu sendirian?"
Dia tidak bisa mengatakan, Kalian mengesalkan, jadi pergi lah dari pandanganku.
Rekan-rekannya pun pergi. Satu-satunya keuntungan setelah meyelamatkan mereka adalah mereka akan melakukan apa pun yang diperintahkannya. Tentu saja, karena memang begitulah cara dia mengajari mereka. Apa gunanya rekan jika dia tidak bisa membuat mereka bergerak seperti yang dia inginkan mirip tangan dan kakinya sendiri? Itu sudah menjadi kewajiban.
Dia menunggu sampai rekan-rekannya benar-benar hilang dari pandangan.
Dia pun dengan cepat memeriksa bukit di sekelilingnya. Tidak ada tanda-tanda orang di sini. Dia mengusap rambutnya yang basah kuyup oleh hujan, lalu mendesah.
"Kau benar-benar melakukannya kali ini..." Mengapa dia mengatakan itu?
Dia melihat kuburan itu.
“Kimura. Aku tidak pernah menduga kalau kau akan mati melindungiku. Dasar bodoh.”
Kimura pasti tahu bahwa dia hanya dimanfaatkan. Mereka menggunakan satu sama lain, meskipun ketika kau mengganti cara melihatnya, bukankah itu bisa disebut persaudaraan? Mudah untuk membayangkan Kimura mengatakan itu dengan nada sopan palsu, dan tawa menyeramkannya itu. Kimura sengaja menjaga jarak dengan orang lain memakai eksentrisitasnya yang dibuat-buat sambil mengawasi mereka dengan hati-hati. Dia sangat perseptif. Ketika ditangani dengan benar, Kimura itu cukup berguna.
“Aku telah berencana untuk menggunakanmu lebih banyak. Bodohnya kau, karena benar-benar peduli padaku. Aku yakin kalau kau akan melakukan hal-hal yang bahkan tidak kurencanakan, dan memperoleh akses ke informasi yang tidak pernah bisa kuketahui, tetapi jika aku bertanya, kau akan selalu memberi tahunya padaku. Kau masih berguna. Sangat lah bodoh karena kau memutuskan untuk mati melindungiku. Apakah kau pikir aku membutuhkan perlindunganmu? Aku tahu, kalau kemungkinannya selalu 11, 12, tapi aku bisa menahannya, karena aku memiliki Relik. Perisai perlindungan, Guardian, dan bilah pemenggal, Beheader. Relik selalu menjadi kuncinya.”
Dia melihat ke arah Menara Terlarang.
“Sir Unchain. Ainrand Leslie. Sosok itu, yang memiliki lebih banyak Relik dari siapa pun yang ada di Grimgar. Salah satu dari lima pangeran, yang merupakan sosok kepercayaan No-Life King, yang dikatakan tidak akan mati, namun terbunuh juga. Dia bahkan memiliki relik seperti layang-layang terbang. Relik. Relik. Relik. Dia mengumpulkan Relik, dan memanipulasi rekan-rekannya dengan itu. Yah, aku sih tidak punya niat untuk menjadi budak si iblis itu. Monster itu pasti akan mencoba menggunakanku, tapi aku juga akan menggunakan monster itu. Dengan begitu, kita setara. Tapi tidak sepenuhnya begitu juga. Pada akhirnya, sejauh menyangkut saling menggunakan, relik dan manusia hanyalah alat untuk digunakan. Relik itu selalu penting, Kimura. Dasar bodoh. Ini semua berkatmu. Andai saja aku bisa mengatakan itu. Tapi kamu mati sia-sia. Bahkan jika kau tidak mati, aku masih akan tetap mendapatkannya.”
Dia membuka lengan kanannya yang telah dia kepalkan selama ini.
Ada sebuah cincin di telapak tangannya.
Gagang dan sisi batu utamanya terbuat dari logam yang agak kemerahan. Mungkin terdapat paduan emas dan sesuatu yang lain di sana. Batu di tengahnya hampir terlihat seperti mutiara, tetapi pada saat yang sama itu bening. Hanya bagian tengah yang tidak bening, namun berkilauan tanpa henti. Ketika dia melihat ke dalam ketidakmurnian itu, dia merasa seperti ditarik jadi dia ingin memaling kan pandangannya. Tapi pada akhirnya dia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari itu.
“Kau tahu? Selama ini, aku pun berpikir bahwa sarung tangan itu lah Relik-nya. Siapa yang akan membayangkan ternyata sebaliknya? ”
Raja Lich telah berubah menjadi debu, dan hanya meninggalkan pakaian yang dia kenakan, sepatu, mahkota, tongkat kerajaan, dan sarung tangan emasnya.
Dia telah memeriksa sarung tangan emas itu dengan cermat, dan dia juga terasa seperti ditarik oleh kualitas khusus tertentu yang tampaknya dimiliki oleh benda itu. Ini adalah sesuatu yang dia dengar dari Ainrand Leslie: Setiap relik memiliki energi khasnya sendiri. Tak peduli efek atau kekuatan apa yang dimanifestasikan Relik tersebut, energi itu akan selalu ada.
Ainrand Leslie menyebutnya "Elixir." Bahkan ternyata ada relik yang bisa mengukur Elixir.
Apakah Relik memiliki kekuatan karena Elixir? Atau kah karena Relik lah Elixir berkumpul di sekitarnya? Apapun itu, dalam istilah yang sederhana, semakin kuat reliknya, maka semakin besar pula Elixir-nya. Relik sekali pakai akan kehilangan Elixirnya setelah digunakan. Jika Elixir dihilangkan entah bagaimana caranya, maka relik akan berubah menjadi objek tanpa kekuatan sama sekali.
Begitu seseorang telah melakukan kontak dengan sejumlah relik, maka mereka mulai dapat mengetahui apa yang berbeda. Manusia mungkin memiliki kemampuan untuk merasakan Elixir. Dia hanya mendapat perasaan samar bahwa ada sesuatu yang berbeda, tetapi orang lain melihatnya sebagai pancaran cahaya atau menciumnya dari aroma tertentu.
“Aku begitu yakin bahwa sarung tangan itu adalah Relik-nya...”
Dia mengangkat sarung tangannya saat itu untuk mencoba merasakan bobotnya. Dia mendekatkan itu ke wajahnya, dan mengamatinya dengan cermat. Dia bahkan mengendusnya. Namun, dia masih belum bisa mendeteksi apa yang dia tuju. Harusnya sarung tangan itu. Tapi ada yang salh. Ada yang berbeda. Saat dia mencoba untuk menentukan apa yang salah, dia dengan perlahan membalikkan sarung tangannya, dan menggoyangkannya, lalu dia pun mendengar suatu suara. Ada sesuatu yang bergerak di dalam sarung tangannya.
Oh, jadi begitu. Bukan sarung tangannya, tapi sesuatu yang ada di dalamnya.
Tepat ketika dia akan mengeluarkannya, Renji bertanya, "Apa yang kau rencanakan dengan itu?"
Renji juga mengira bahwa sarung tangan itu adalah Relik. Tapi bukan itu saja. Renji bisa melihat melaluinya. Melihat bahwa Shinohara mencoba untuk mengambil relik itu bagi dirinya sendiri. Dengan kekuatan yang tak terbatas ini, raja yang tidak tertidur bahkan dalam kematiannya bisa membentuk tentara-tentara dari pasir dan tulang, dan menguasai Makam untuk waktu yang terlalu lama agar bisa dihitung. Atau lebih tepatnya, kekuatan inilah yang membuat raja tidak bisa tertidur bahkan dalam kematiannya. Renji tampak seolah-olah bisa melihat bahwa tujuannya selama ini adalah untuk mendapatkan relik itu.
Dia terlalu berbahaya, pikirnya. Seberapa banyak yang Renji ketahui? Aku tidak yakin. Tapi aku tidak bisa memaksakan hal-hal terlalu maju sementara pria seperti Renji curiga padaku. Dia berpengalaman dan segera akan berada di level yang sama dengan Soma atau Akira. Aku lebih suka untuk tidak berakhir dalam situasi di mana aku membutuhkannya untuk dieliminasi.
“Aku memasang sedikit akting. Aku selalu bagus dalam hal itu. Lagipula, aku memang selalu berakting hampir setiap saat.”
Dia telah menghancurkan sarung tangan itu dan disaksikan langsung oleh Renji. Ada risiko bahwa dia juga akan menghancurkan relik di dalamnya. Tapi dia tahu bahwa ukurannya tidak terlalu besar, mungkin itu adalah cincin yang dipakai Raja Lich di balik sarung tangannya. Berdasarkan dari mana dia mendengar suaranya, kemungkinan besar itu berada di jari tengah atau manisnya. Itulah yang memberinya ide untuk berakting. Dia yakin bahwa dia bisa melakukan itu. Dan memang benar.
“Benar juga... Kematianmu tidak sia-sia, Kimura. Karena kau mati, aku bisa melakukan itu. Berkatmu, aku bisa meyakinkan mereka dengan kedok marah, dan bersedih, jadi aku pun bisa mendapatkan cincin ini. ”
Dia mencengkeram cincin itu erat-erat di tangannya dan tersenyum.
“Bergembiralah, Kimura. Ini semua berkatmu.”
Komentar
Posting Komentar