Ketika mereka sampai di ujung aula masuk, ada sebuah pintu yang terbuat dari semacam bahan yang tak bisa dikatakan mirip logam atau pun kayu. Tingginya lebih dari tiga meter, dan lebarnya hampir sama, jadi bisa disebut hampir mirip persegi tapi tidak sepenuhnya mirip; karena sudut atas pintu tersebut berbentuk bundar. Pintu tersebut tersembunyi di dinding, dan sepertinya merupkan jalur yang harus mereka buka, tapi pertanyaannya adalah bagaimana caranya. Pintu itu tak memiliki pegangan atau semacamnya. Yang ada hanya semacam lekukan dalam bentuk lima lingkaran yang saling tumpang tindih di bagian tengah.
Oh ya, di sana ada lebih dari satu pintu, ada satu lagi pintu yang sama terpisah sepuluh meter darinya. Shinohara berdiri di depan pintu sebelah kiri, sementara Kimura di depan pintu sebelah kanan.
“Kami akan mendemonstrasikan tipu daya paling utama dari Makam pada kalian sekarang, ”kata Shinohara sambil meletakkan tangan kanannya di atas lekukan pintu. “Kami menyebut ini cara membuka kunci yang disinkronkan,” jelasnya. "Kimura."
“Oh-ho!” Kimura menekan tangan kanannya ke lekukan pintu. “Lihat lah ini.”
“Emangnya apa sih itu?” bisik Yume di telinga Ranta.
“Jangan tanya aku lah!” Ranta memiringkan kepalanya ke samping. "Ok tunggu dulu, serius nih, emang apa sih tadi itu?”
“Dia ngomong ‘lihat lah ini’,” kata Setora dingin, dan Ranta dengan canggung berdeham.
“O-Oh ya? Aku tahu itu. Maksudku, duh. Semua orang tahu itu. Dan ini adalah aku yang sedang kita bicarakan, oke?”
“Tentu saja,” kata Kuzaku sambil terkekeh.
"Apa yang pengen kau katakan, brengsek?"
Haruhiro bisa saja mengabaikan Ranta saat dia melaju ke Kuzaku, tapi pemandangan tersebut terlalu menyakitkan untuk ditonton. Dia baru saja hendak menghentikan mereka tapi berhenti ketika sesuatu terjadi pada pintunya.
"Ohh...!" Mata Haruhiro melebar. Dia memang telah menduga pintunya akan terbuka, tapi tidak seperti ini.
Ada suatu tatahan-tatahan rumit di kedua pintu itu, tapi Haruhiro hanya menganggapnya sebagai semacam desain yang bertujuan sebagai hiasan semata. Ternyata dia salah. Pintu-pintu itu terdiri dari banyak bagian, dan tatahan-tatahan itu merupakan bagian dari semacam lapisan pintu tersebut. Dibarengi suara berat, bagian-bagiannya mengubah posisi untuk membuat semacam jalur.
Kedua pintu tersebut terlipat ke dinding saat terbuka, meninggalkan lubang yang bisa dilewati oleh mereka.
“Fwooo.” Mata Yume berubah menjadi seperti piring. “Cara pintu itu terbuka anem banget, ya, Merry-chan?”
"...Ya." Merry menatap Yume, lalu tersenyum tipis. “Itu benar. Tetapi aku yakin bahwa kata yang kamu maksud adalah aneh.”
“Nwuu. Oh ya? Antek, ya?”
“Yume, kau salah lagi. Cuma ngasih tahu.”
“Oh, diam lah. Keberadaanmu sendiri adalah kesalahan, kau tahu, Ranta?”
“Keberadaanku adalah hal paling benar yang pernah ada! ...Tunggu dulu, mungkin tidak. Itu gak kedengeran keren. Mungkinkah keberadaanku jahat? Murni jahat. Hm. Ya, itu kedengeran lebih keren.”
Apa pun yang kau katakan itu gak akan ngebuatmu jadi keren.
Bukan hanya Haruhiro, semua orang di sana mungkin berpikir sama sepertinya, tapi tak ada yang mengatakannya. Memberi perhatian pada Ranta hanya akan membuat hal-hal menjadi lebih buruk. Pilihan terbaik adalah mengabaikannya.
"Akhirnya."
Kunci untuk masuk ke Makam ia lah, seperti yang baru saja Shinohara dan Kimura demonstrasikan, dengan menyinkronisasikan.
Ada 2 jalur masuk di Aula Masuk. Sebut saja Pintu A dan B. Itu adalah kedua pintu yang barusan Shinohara dan Kimura buka. Pintunya terbuka ketika Shinohara dan Kimura mensinkronisasikan di kedua titik tadi. Namun, tidak lah mungkin untuk membuka salah satunya saja. Mereka hanya bisa terbuka jika kedua lekukan pintu ditekan secara bersamaan, yang menyebabkan kedua pintunya terbuka bersamaan.
Pastinya sangat ribet bagi Orion untuk bisa mengetahui cara kerja sistem, aturan, mekanisme, gimik, atau apa lah itu agar bisa membuka kedua pintu ini. Tapi pada akhirnya mereka berhasil menemukan caranya. Haruhiro sangat terkesan terhadap hal tersebut, dia penasaran mengapa mereka mau melakukannya sejauh ini.
Yah, terserah apa alasan mereka melakukannya, berkat Orion, mereka sekarang tahu bagaimana bisa terus memasuki ke dalam Makam.
Jika ada percabangan jalur, mereka tidak bisa memilih salah satunya saja, mereka harus melalui semua jalurnya. Ada dua jalur di sini. Jika kau menekan kedua lekukan pintunya, maka dua jalur pintu itu akan terbuka.
Ketika mereka masuk ke Makam melalui kaki gunung, mereka masuk ke area yang disebut Aula Masuk.
Ada 2 pintu masuk di Aula Masuk: Pintu A dan B. Ketika keduanya dibuka dengan cara disinkronisasikan, maka dua jalur akan terbuka.
Mereka menyebutnya Rute A dan B.
Rute A terhubung ke suatu ruangan yang Orion namakan ‘Ruang Makan.’ Ada 2 pintu lagi di sana. Satu mengarah ke Dapur dan satu lainnya mengarah ke Kapel*. Ada pintu lainnya lagi di kedua pintu itu. Jika membuka kedua pintu itu dengan disinkronisasikan, maka mereka bisa mencpai ke suatu ruangan yang bernama ‘Halaman Dalam Ruangan.’ Halaman Dalam Ruangan adalah akhir dari Rute A.
(Gereja kecil)
Rute B mengarah ke Aula Besar, yang kemudian mengarah ke percabangan jalan pada suatu ruangan bernama Aula Penonton dan Ruang Ganti. Jika pintu di kedua pintu itu juga dibuka dengan cara disinkronisasikan, maka mereka akan bisa mencapai ke Ruang Tidur Master. Rute B pun berakhir di sana.
Akhirnya, jika pintu di Halaman Dalam Ruangan dan Ruang Tidur Master dibuka dengan cara yang disinkronisasikan, maka terbuka lah Ruang Makam. Tetapi berhubungan dengan struktur area penuh Ruang Makam, masih lah menjadi misteri. Dinilai dari berbagai macam seni yang tertempel di dinding tempat ini, Shinohara tampak diyakinkan bahwa Raja yang tidak tertidur bahkan dalam kematian, Lich King, ada di sana. Namun, Orion masih belum sampai sejauh ini.
Dan juga, jika mereka memasuki Makam dari kastil di puncak Mt. Grief, mereka harus memulainya di suatu ruangan komples yang Orion namai Ruangan Harta. Ruangan Harta seperti labirin, dan mereka juga harus mengalahkan banyak musuh sambil terus maju. Orion tidak berhasil menguasai Ruangan Harta, tapi mereka berhasil memetakan area itu sepenuhnya dan mencapai pada kesimpulan bahwa Ruangan Harta harusnya terhubung ke Ruang Makam.
Yah, apa pun itu, jika berbagai hal memang seperti yang sudah Shinohara antisipasi, kalau musuh di Makam terciptakan oleh Lich King. Jika mereka membuat sang Raja yang tidak tertidur bahkan dalam kematiannya benar-benar beristirahat dengan tenang, maka harusnya Makam akan menjadi Makam yang normal saja, dan juga melalaui Ruangan Harta akan menjadi hal yang mudah setelahnya.
Karena itu lah, mereka berpencar jadi 2 regu.
Rute A akan diambil oleh Party Haruhiro dan Tokkis, bersama Kimura dari Orion sebagai pemandu. Totalnya 13 orang.
Rute B akan diambil oleh Tim Renji dan sisa anggota Orion lainnya yang dipimpin oleh Shinohara. Regu itu juga terdiri dari 13 orang secara total.
“Yah, kalau begitu, sampai jumpa lagi.” Ucap Shinohara sambil tersenyum pada Haruhiro dan yang lain.
Renji juga melihat ke arah mereka. Yah, sebenarnya tidak tepat bila disebut ‘mereka’ karena tatapannya lebih mengarah ke Haruhiro. Namun dia tidak hanya menatapnya tanpa maksud. Ada suatu maksud dalam tatapannya itu. Haruhiro mengerti. Tidak ada yang mengerti selain dirinya.
Haruhiro tidak mengangguk. Dia hanya balas menatap Renji. Kelihatannya itu sudah cukup bagi Renji untuk mengerti apa maksudnya.
Terasa seolah-olah hati mereka saling terhubung. Semacam perasaan yang aneh. Mereka terdaftarkan pada saat yang sama, tapi Haruhiro tidak mengingatnya. Kesenjangan kemampuan mereka juga terlalu jauh untuk bisa diukur. Seorang pria yang Haruhiro pikir tidak punya hak untuk berpikir dirinya sejajar mengatakan dia akan mengandalkan dirinya.
Aku hanya merasa itu tidak benar. Gimana ya cara jelasinnya. Mungkin rasanya seperti gatal yang tidak bisa kugaruk? Renji, apa kau yakin tidak sedang membuat kesalahan disini? Ini tuh aku lho yang sedang dibicarakan? Mungkinkah kau salah orang? Aku sih setengah teryakinkan daripada dirimu.
“Haruskah kita maju? Zu-foh...!”
Haruhir dan yang lain mengikuti Kimura memasuki Pintu A. Kimura, Kuzaku, Setora, Tokimune, dan Kikkawa membawa lentera, jadi kondisinya cukup terang. Koridor batu yang menghubungkan Aula Masuk ke Ruang Makan memiliki lebar yang hampir sama dengan Pintunya, kisaran 3 meter. Ada sesuatu yang terukit di dinding batu. Bukan teks atau simbol, tapi gambar.
“Menurut investigasi kami, kami jadi tahu bahwa semua gambar ini adalah gambar raksasa-raksasa dan monster-monster yang habitatnya berada di Dataran Quickwind, gu-feh...”
“Makanan, ya?” ucap Tada pada dirinya sendiri.
Apa maksudnya?
Tidak ada yang merespon.
“Omong-omong, um...” Dengan ragu Haruhiro memanggil si Wanita Tinggi yang terus berjalan di sampingnya selama beberapa saat sekarang. “Mi-Mimori-san...”
“Mimorin.”
“Huh?”
“Panggil aku Mimorin.”
“Ohh... Erm...”
“Kamu biasa memanggilku Mimorin sebelumnya.”
“Sebelum aku kehilangan ingatanku?”
“Ya.” Mimorin mengangguk semangat. “Jadi panggil saja aku Mimorin.”
“Aku mengerti...”
Apakah memang benar begitu? Dia tidak tahu. Dia pun merasa tidak ingin mengetahuinya. Tapi yah, jika dia memang memanggilnya demikian, maka biarlah. Dia tidak mengingatnya, tapi dia bisa saja melakukan hal bodoh itu di masa lalu. Oke, mungkin tadi itu terlalu berlebihan. Intinya, Haruhiro merujuk Mimori sebagai Mimorinn sebelum hilang ingatan.
Kenapa kau melakukan itu, diriku di masa lalu?
“Uh, er, Mimo... rin.”
Mimori, bukan, Mimorin tiba-tiba berhenti berjalan.
Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil tertunduk.
“Huh?”
Haruhiro telah melakukan apa yang dia suruh.
“Apakah... ada yang salah?”
“Aku bisa membuatmu memanggilku Mimorin lagi.” Bahu Mimorin gemetaran. “Aku sangat senang.”
“Nngh.” isak Kikkawa. “Maksudku tuh, gimana ya. Ayo kita jujur saja di sini. Kami tuh ngira kalian dah pada meninggal, tahu? Aku sih jujur aja. Karena, yah, aku gak bisa bayangin gimana kalian bisa bertahan hidup. Kami juga gak punya bukti, tapi rumor-rumor yang kami dengar kurang lebih mengkonfirmasi hal tersebut. Mimori, dia sangat kesakitan, tahu? Tentu saja dia harus begitu. Tapi! Dia tetap saja percaya, kalau! Haruhiro masih ada di luar di sana, dalam keadaan hidup, dan percaya akan bertemu dengannya lagi! Melihatnya seperti itu, gimana kau gak bisa nahan tangis coba? Aku juga nangis, lho. Tapi cuma sedikit, kok! Jadi aku pun berpikir, ‘jadi ini ya cinta sejati, itu?’ Tapi tetep aja, kupikir Mimori-san terlalu setia padamu. Aku serius lho, sekalinya Mimori memutuskan pikirannya akan sesuatu, dia tidak akan menariknya. Kalau bukan begitu, maka bukan Mimori-san artinya.”
“Hey, Parupiiirooo!” Anna-san berjalan ke arahnya lalu mencengkram kain baju depannya. “Biar kuperjelas, yeah? Aku dah sering banget mengatakannya pada Mimorin kalau bahkan jika kau beruntung berhasil hidup, dia perlu move on. Mimorin gak perlu buang-buangin waktunya pada orang mirip kontol sepertimu. Kubilang padanya, Time is money. Waste of time. Kubilang padanya untuk cepat saja menyerah padanya, yeah? But, Mimorin menolaknya. No matter how. Kayak sesuatu yang gak bisa dia lepaskan, yeah? Apa kau tahu napa dia tetap bersikeras ke seorang pengecut sepertimu? Napa dia bilang gak akan bisa melupakanmu? Karena dia itu mencintaimu, oke? Fuck you!”
Anna-san mengucapkan semua itu sambil menangis dan mengguncang-guncang tubuh Haruhiro. Apa yang merasukinya?
Tidak ada yang berani mengatakan itu padanya, apalagi Haruhiro.
Haruhiro tercengang sekaligus terkesan. Anna-san benar-benar mempedulikan Mimorin, sebagai rekan sekaligus teman. Itu lah yang membuatnya terkesan. Haruhiro juga kewalahan oleh kekuatan emosinya itu.
“Uh...” Kuzaku coba mengatakan sesuatu. Tapi, pada akhirnya tidak ada kalimat yang keluar darinya.
Haruhiro pun tidak tahu harus mengatakan apa.
Apa yang harus kulakukan? Jika ada yang tahu jawabannya, tolong kasih tahu aku!
“Yaelah,” si pria bertopeng tertawa kecil. “Bukannya bagus? Seseorang seperti dia sangat bernafsu cinta pada seorang pria bajingan linglung sepertimu, syukurilah dan terima aja cintanya itu. Ini tuh kek semacam kejadian yang terjadi sekali seumur hidup, jadi jangan dibiarin, lah.”
“Dia bukan bajingan.” Mimorin memelototi Ranta. “Haruhiro bukan lah bajingan. Dia juga gak linglung. Sama sekali enggak benar.”
“M-Maaf...” ucap Ranta pelan sambil menundukkan kepalanya.
Whoa, kau sungguh pengecut, adalah sesuatu yang tidak Haruhiro pikirkan kali ini, karena Mimorin juga memiliki aura intens-nya sendiri, meskipun tidak sekelas Renji.
“Baiklah.” Tada menggenggam lengan Anna-san. Dia juga menggenggamnya dengan lembut. “Cukup lah, Anna-san.”
“Murgh...”
Jelas-jelas dia tidak ingin melakukan itu, tapi Anna-san tetap melepaskan baju Haruhiro.
Kebetulan, palu perang Tada sedang diistirahatkan di bahunya, dan tampak siap untuk mengayunkannya ke bawah setiap saat. Di atas semua itu, Haruhiro juga bisa merasakan aura haus darah keluar dari setiap pori-pori tubuhnya.
“Haruhiro.”
“Ya...?”
“Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kalian. Aku juga tidak peduli jika kau hilang ingatan lagi, atau apa lah.”
“Yah... tidak masalah sih. Toh itu emang masalah kami.”
“Tapi.”
“Tapi...?”
“Mimori kami sangat tersakiti. Siapa yang menyakitinya? Kau.”
“Huh? Aku?”
“Emangnya siapa lagi? Jika kau menyakiti Mimori lagi, aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Aku akan membunuhmu.”
“Kau kesini hanya untuk mengatakan itu, ya?”
“Akan kubunuh kau.”
“Dua kali...”
“Tidak!”
Kejadiannya begitu cepat sampai-sampai Haruhiro meragukan penglihatannya.
Apakah Mimorin baru saja menonjok Tada?
Memang benar.
“Gwagh...!”
Tada dihantamkan ke tanah.
Dia tidak bergerak.
Tidak, tunggu, dia bangun perlahan-lahan. Kacamatanya tidak pada tempatnya, dan ada darah di bibirnya.
“Ptuuhh...” Tada menyemburkan sesuatu. Ada suara sesuatu yang keras beberbenturan ke lantai ketika Tada menyemburkan sesuatu.
Sesuatu itu terlihat seperti gigi. Apakah giginya terlepas? Dan juga kelihatannya itu adalah gigi gerahamnya.
Tada membenarkan posisi kacamatanya dengan tangan kiri.
Oh, bung. Kenapa pria ini malah tersenyum?
“Pukulan bagus, Mimori...”
“Karena kamu bilang akan membunuh Haruhiro.”
“Tidak peduli apa yang kau katakan, aku akan tetap melakukannya.”
“Tidak!”
Mimori mencoba menerjang Tada dengan—apa lagi kali ini? Tendangan? Oh, sial. Kelihatannya berbahaya. Dia akan menendang rahangnya. Haruhiro dengan reflek menahan Mimori dari samping untuk menghentikannya.
“B-Berhenti, oke? Bisakah kau berhenti?”
“Mimori!” Tada berdiri dengan cepat. “Jika Haruhiro tetap bermain-main denganmu, akan kubunuh dia!”
“Kubilang tidak!”
“Uh, aku tidak bermain-main dengannya, lho? Aku hanya berpetualang ke berbagai tempat dan berakhir kehilangan ingatanku lagi, mengerti?”
Tada memiringkan kepalanya ke samping.
“Begitukah?”
“Ya!”
“Baiklah.”
Tada mengangkat bahunya.
“Yang penting, jangan menyakiti Mimori lagi.”
“Kan dah kubilang, aku sama sekali tidak punya niat untuk menyakitinya, oke?”
“Kalau begitu!” Anna-san mendekat lalu mengoceh dengan cepat. “Cepatlah terima cinta Mimorin, yeah!”
Mimorin mendekatkan wajah dia padanya.
“Kumohon. Terimalah.”
“Aku... bingung tentang itu...”
“Wow, kau populer, ya...” Kuzaku menyilangkan lengannya.
Aku tidak tahu apa kau terkesan atau apa, tapi bisakah kau diam saja?
“Maksudku, yah, aku tahu sih kenapa, tapi tetap aja.”
“Geh! Aku gak terima!” sembur Ranta dengan marah. Tapi... “Arghhh! Bleh! Bleh!” Harusnya dia melepaskan topengnya dulu sebelum menyemburkan segala macam keluhan seperti itu.
Whoa, bung, jaga tenggorokanmu baik-baik.
“Ohh, aku jadi merasa muda!” senyum Tokimune begitu segar sampai-sampai terasa tidak pada tempatnya. Tidak, lebih seperti dia bahkan tidak cocok berada di dunia semacam ini. Giginya terlalu putuh. Bagaimana dia bisa membuatnya begitu berkilauan?
“Hmm, tunggu dulu...” sela Kikkawa. “Haruhiro, kau gak punya pacar? Maksudku tuh, di partymu? Tau lah sedikit cinta-cintaan setelah bekerja gitu? Kan dah biasa kalau itu terjadi, kau setuju?”
“Bagaimana denganmu?”
“Oh? Kami? Kami itu seperti keluarga, kau tahu? Tidak, lebih seperti kami memang lah keluarga! Tokimune tuh ayahnya, Anna-san ibunya, Tadachi sebagai kakak lelaki tertua, Mimori-san sebagai kakak perempuan tertua, aku sebagai adiknya, dan Inui berperan sebagai semacam anjing peliharaan arau sesuatu yang mirip kek gitu.”
“Heh.”
Raut wajah Inui hanya bisa di deskripsikan jahat. Jika hanya dilihat sejenak dia terlihat tidak menyukai di rujuk sebagai anjing, tapi ternyata tidak.
“Woof...” dia menggonggong. Namun, suaranya kecil.
“Jadi? Gimana dengan kalian? Hora-hora, cepet kasih tahu!” Kikkawa mengabaikannya dan terus mengoceh. Sebenarnya, bukan hanya Kikkawa, tidak ada satu pun orang di sini yang merespon gonggongan Inui. Terasa sepeti pangkat dia lebih rendah dari anjing peliharaan.
“Kayak gimana sih situasi romansa di partymu? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Aku sih akan menduga ada. Pastinya ada, kan? Seperti, sama Merry gitu?”
“Huh...” Haruhiro melihat ke arah Merry dengan reflek.
Mungkin karena kebetulan semata, Merry juga melihat ke arah Haruhiro.
Hasilnya mereka pun saling menatap satu sama lain.
Kemudian dengan cepat mereka langsung mengarahkan pandangannya ke bawah.
“Oh? Apa itu barusan?” Kikkawa melingkarkan lengannya di bahu Haruhiro. “Whoa, whoa, whoa. Jangan bilang... Haruhiro, apa kau dan Merry berkencan?”
“T-Tidak. K-Kami tidak lah. T-Tidak ada sesuatu yang seperti itu...”
“Hey, bung.”
Ranta jongkok dengan cemberut. Dia telah menggeser topengnya ke dahi dan mendongak ke arah Haruhiro. Apa-apaan tatapan curiganya itu? Emangnya dia itu mikir dia siapa sih?
“Aku tahu kalau berbagai macam hal telah terjadi dan aku meninggalkan Party. Tapi sampai pada titik itu, aku tidak ingat sesuatu semacam ini terjadi. Mungkin saja ini terjadi pada saat aku tidak ada? Yah, siapa tahu? Lagian juga kau melupakannya.”
“Aku melupakannya...?”
“Tapi Merry mengingatnya, kan? Bahkan jika kau lupa, dia masih ingat, jika dilihat dari masalah ini. Aku benar, kan?”
“Ohhh!” Kuzaku saling memukul kedua tinjunya.
‘Ohhh’ matamu!
“Mmmngh...?” Yume menyenggol bahu Merry. “Merry-chan, apa kamu berkencan ama Haru-kun?”
“Huh? B-Ber... ke-kencan? Huh? Tidak! Kita...!”
Merry? Merry-san? Kenapa kau tiba-tiba jadi gugup? Apa? Apa yang terjadi?
Tunggu dulu, mungkinkah... memang benar-benar terjadi sesuatu?
Tentu saja, Haruhiro sama sekali tidak tahu. Tidak mungkin dia bisa. Tidak peduli apa yang telah terjadi antara mereka dulu, Haruhiro tidak mengingatnya. Meskipun Haruhiro ingat sesuatu, dengan cepat itu akan hilang, tapi beda dengan Merry. Yah, Haruhiro tidak bisa apa-apa terhadap masalah ingatannya, memang sudah begitu jadinya. Kalau begitu, bukannya baik-baik saja jika dia bertanya pada Merry apa yang sebenaranya pernah terjadi?
Meskipun begitu, tidak semudah kedengarannya.
Dia merasa kalau itu akan sangat susah. Meskipun dia merasakannya samar-samar.
Sesuatu terjadi, ya...?
Apakah akan baik-baik saja jika Haruhiro menayakan Merry tentang itu? Jika tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka, maka itu akan memalukan karena dia berpikir seperti itu. Bahkan jika ada sesuatu yang terjadi, menanyakannya langsung padanya itu terasa agak—tidak, bukan agak lagi tapi terlalu blak-blakan. Dia merasa kalau hal tersebut terlalu memalukan 'tuk dilakukkan.
“Hey...!”
Tiba-tiba Kimura mengomeli mereka.
“Kalian pikir sedang melakukan apa? Kita sedang berada di Makam, lho!”
Dia memukul-mukul tongkatnya pada lantai. Tunggu, dia bisa menggunakan objek itu untuk hal lain selain menyerang selangkangan musuh? Tentu saja dia bisa.
Tapi kelihatannya Kimura memukul-mukul tongkatnya ke tanah bukan karena kesal atau marah.
“Apa-apaan itu!?” mata Ranta melebar. Ketika tongkat Kimura menghantam lantai di bawah kakinya, mereka tidak mendengar suara hantaman dari kedua objek tersebut. Kenapa?
Karena yang Kimura hantam bukan lah lantai.
Apa itu? Warnanya hitam legam seperti bayangan tapi juga berbeda. Tidak ada bayangan di sana. Bentuknya sangat lah tipis, tapi masih memiliki beberapa tingkat ketebalan di dalamnya. Mungkin lebarnya kisaran 10 cm, dan siapa tahu seberapa panjangnya itu. Mungkin kisaran 50 atau 60 cm? Sesuatu itu sangat lah tipis seperti ular hitam legam. Ketika mahluk itu merayap ke Kimura, dia dengan cepat menghantamnya dengan tongkat.
“Apakah itu lah alasannya disebut Shadow?” ucap Setora dengan pelan pada dirinya sendiri. Mereka sudah diberitahukan tentang ini sebelum masuk ke Makam. Ada berbagai macam musuh di dalam sini yang akan mencoba mengusir para penyusup. Shadow adalah salah satunya. Mereka berada di lantai dan dinding serta memiliki kekuatan ofensif yang kecil namun mereka akan meliliti para penyusup untuk menahannya di tempat. Terkadang juga mereka bertindak secara berkelompok.
“Makam! Guh-hoh...!” Kimura mulai tertawa. “Wo hoh! Nuh buh huh! Ini lah Makam, yes! Weh hah weh hah weh ha! Kusarankan untuk lebih berhati-hati! Wa heeeah!”
Dia tertawa seperti orang idiot sambil menghantam dinding dan lantai dengan tongkatnya. Shadow. Mereka adalah Shadow. Ada Shadow di mana-mana. Tapi tidak ada yang lucu tentang itu, kan? Saat ini, Kimura malah terlihat lebih menakutkan ketimbang para Shadow ini.
“Waktunya ular terbang!” Tokimune mengayunkan pedangnya dengan anggun ke salah satu Shadow di lantai.
“Hmph...” Tada jungkir balik sekali untuk mendapatkan momentum menghantam dinding. “Akan kubasmi mereka...!”
“Whoa...!” Kuzaku tercengang ketika melihat ada Shadow yang meliliti pergelangan kakinya. Dia mencoba menggoyang-goyangkan kakinya untuk melepaskan Shadow itu.
“Jangan lengah, idiot!” teriak Ranta sambil menebas Shadow itu dengan katananya.
“Banyak banget, ya!”
Yume menggunakan pisau besarnya untuk memotong-motong para Shadow. Setora terus menusuk Shadow satu demi satu dengan tombaknya. Merry menghantam beberapa dari mereka dengan palu perangnya.
Haruhiro tidak bisa berdiri diam saja. Dia menghunuskan belatinya, tapi seseorang didekatnya bergerak maju sebelum dia bisa. Siapa? Mimorin.
Mimorin menarik kedua pedang panjangnya lalu menebas tiga atau empat Shadow dengan kejam hingga membuat mereka terbang.
“Tenang saja.”
“Kok bisa...?”
“Karena aku akan melindungimu, Haruhiro.”
Aku berterima kasih, tapi aku juga bisa melindungi diriku sendiri, kau tahu...?
Sebenarnya, apakah aku bahkan berterima kasih? Mungkin tidak, ya?
Sebelum dia bisa mengeluarkan pendapatnya, Mimorin dengan cepat menjatuhkan para Shadow satu demi satu dengan kedua pedangnya.
“Haruhiro!”
“Ya...?”
“Aku mencintaimu!”
Benarkah?
Yah, terserah lah, Haruhiro hanya akan melakukan apa yang harus dia lakukan sekarang. Atau setidaknya begitu lah niatnya, tapi tubuhnya tidak mendengar. Dia merasa lemah dan tidak bisa berpikir lurus.
Apa yang harus kulakukan?
Komentar
Posting Komentar