Jin Mogis dengan cepat melepaskan Itsukushima, lalu mengadakan makan bersamanya dan meminta maaf atas kekasarannya. Namun, dia tak menundukkan kepala padanya. Itsukushima bilang jika dia bahkan jadi lebih benci padanya setelah makan bersama itu. Tak peduli sebetapa benci dia padanya, Mogis tak akan menghiraukannya sama sekali. Wajah tak tahu malu pria itu sangat lah kuat.
Mogis memutuskan untuk mengirim delegasi* ke Pegunungan Kurogane sementara Tentara Perbatasan bersiap untuk ekspedisi*. Delegasi itu dipimpin oleh seorang pria bernama Vicky Sand, yang dipilih dari sekumpulan Prajurit Jubah Hitam, sebagai wakil sang Jenderal dan utusan resmi Tentara Perbatasan. Tentu saja Itsukushima juga ikut. Haruhiro dan yang lainnya juga diperintahkan untuk pergi ke Pegunungan Kurogane. Neal, si Scout, bergabung dengan mereka. Peran Neal adalah sebagai asisten Vicky Sand, dan memantau Haruhiro dan yang lainnya.
(1. Delegasi adalah perwakilan atau utusan dengan proses penunjukan secara langsung maupun secara musyawarah untuk mengutusnya menjadi salah satu perwakilan suatu kelompok atau lembaga 2. Oke, gw gak tau yang ini tuh konteksnya mereka siap2 untuk berekspedisi ke mana gitu, semisal ke Vele yang bisa jadi kemungkinan, atau mereka bersiap-siap terhadap serangan Ekspedisi Selatan)
Mogis telah menyiapkan cukup banyak kuda untuk rombongan itu. Kuda-kudanya tidak terlalu besar, tapi mereka kokoh dan punya wajah yang lembut. Mereka bahkan patuh dan bisa digunakan untuk dinaiki ataupun menarik sesuatu. Mereka diberitahu bahwa kuda-kuda tersebut berasal dari Daratan Utama.
“Keberangkatan kita akan dimulai besok pagi. Sampai saat itu, kalian bebas untuk beraktivitas.” Kata Mogis setelah memanggil delegasi ke aula. Dia berbicara dengan cara yang merendahkan, seolah-olah dia adalah raja yang dermawan.
Itsukushima bilang dia akan membawa rombongan anjing serigala yang pernah dia ikut bawa ke Pegunungan Kurogane untuk pergi melihat-lihat bangunan Guild Hunter dan bertemu dengan mereka keesokan harinya.
Haruhiro dan teman-temannya memutuskan untuk bermalam di penginapan Tentara Sukarelawan. Tempat itu sudah bobrok, tapi masih memiliki atap yang layak, juga ada banyak ruangan. Selama mereka punya bahan bakar, mereka akan tetap merasa hangat. Mereka bahkan bisa mandi. Di sana lebih nyaman ketimbang tinggal di Menara Tenboro.
Tentu saja, Haruhiro khawatir pada Merry. Tapi sejujurnya dia tak tahu apa yang harus dia lakukan tentang itu. Haruhiro meninggalkan teman-temannya yang ada di Penginapan Tentara Sukarelawan dan berjalan menuju Guild Thief di Kota Barat.
Elisa, sang Mentor, berada di Guild. Seperti biasa, dia tak menunjukkan wajahnya. Setelah Eliza memberikan informasi, Haruhiro memberitahunya bahwa ingatannya tiba-tiba kembali. Eliza berbicara sedikit tentang Barbara. Kehilangan Barbara merupakan pukulan telak padanya. Dia ingin Barbara ada di sini sekarang.
Selain Eliza, kedua Mentor bersaudara, Fudaraku dan Mosaik, selamat. Harusnya mereka mengawasi Pasukan Ekspedisi Selatan, tapi mereka belum kembali. Jika salah satu dari saudara itu masih hidup, mereka mungkin akan berpapasan dengan Haruhiro dan yang lainnya dalam perjalanan ke Pegunungan Kurogane. Untuk berjaga-jaga, Eliza memberikan semacam kode pada para Mentor untuk mengetahui apakah mereka berasal dari Guild Thief atau bukan.
“Tapi aku yakin kalau mereka tak berguna.”
Kelihatannya Eliza tak banyak berharap banyak pada kedua saudara, Fudaraku dan Mosaik.
“Jika mereka masih hidup, mereka akan bersembunyi di suatu tempat sampai situasi menjadi tenang. Itu lah sifat mereka."
Haruhiro kembali ke Penginapan Tentara Sukarelawan. Kamarnya dibagi jadi 2, satu untuk wanita dan yang lain untuk pria, seperti dulu, tapi karena kondisi Merry, dia menggunakan 1 ruangan untuk sendiri. Haruhiro memilih ruangan dengan 2 ranjang berlantai 2 yang dilapisi oleh tumpukan jerami di atasnya.
Haruhiro menyalakan lampu di dinding. Dia melepas jubahnya dan duduk di tempat tidur yang lebih rendah.
Ketika masih menjadi Tentara Sukarelawan magang, dia biasa menyewa kamar ini seharga 10 perunggu per malam. Betapa nostalgianya. Satu set tempat tidur ditempati oleh Ranta di atas dan Moguzo di bawah. Ranjang lainnya ditempati oleh Haruhiro di atas dan Manato di bawah.
“Kita pergi ke... kamar mandi untuk mengintip para wanita, ingat? Idenya berasal dari Ranta. Kita emang yang terburuk, kan?
Ranjang yang sedang Haruhiro duduki sekarang digunakan oleh Manato dulu. Di depannya ada tempat tidur Moguzo. Mereka berdua sudah tidak ada sekarang.
Begitupun dengan Barbara-sensei.
Dia juga mendengar bahwa Sassa dari Tim Renji kehilangan nyawanya di Benua Merah.
Haruhiro mendesah.
Aku harap bisa melepaskan semua perasaan berat di setiap nafas yang kutarik dan lepaskan, tapi kurasa aku tak akan bisa. Aku bukan lah orang yang bisa mengubah suasana hatiku dengan mudah. Bukannya aku mau juga sih, tapi aku pernah melupakan ini semua. Namun, akhirnya aku ingat. Kupikir ingatanku seperti jatuh dari suatu tempat dan mendarat ditempat yang seharusnya, jadi aku bisa ingat.
Seseorang menggedor-gedor pintu kamar berulang kali. Haruhiro tidak terkejut karena dia sudah mendengar suara langkah kaki sebelumnya.
Sebelum Haruhiro bisa jawab, pintunya terbuka.
“Hehe.”
Itu si Pria Bertopeng.
“Apa-apaan dengan mukamu? Itu akan merusak moralmu, dasar brengsek!”
“Maaf, bung. Aku lahir dengan muka seperti ini.”
“Ya iya lah kau gak bisa ngubah wajahmu, jadi aku bilang padamu untuk setidaknya kelihatan bgus
dikit. Ingat itu!”
Si Pria Bertopeng berjalan masuk ke ruangan dan duduk di ranjang yang Moguzo pakai dulu.
“Kau ingat semuanya, kan?”
“Yah...”
Haruhiro menghela nafas. Dia merasa kalau dia menghela nafas terus, tapi ini bukan lah yang pertama kali. Hal seperti ini sudah biasa terjadi sejak dulu.
“Mungkin.”
Si pria bertopeng melepas topengnya dan melemparnya ke tempat tidur.
“Kau adalah seorang bajingan yang keras kepala. Meskipun kau telah lupa atau ingat kembali, kau tetap lah seperti itu.”
Haruhiro terkekeh.
“Kau benar.”
“Merry...” kata Ranta dengan suara rendah. “Aku menyuruh Yume mengawasinya.”
Haruhiro pikir harusnya dia lah orang yang berurusan dengan Merry, atau orang yang memberi perintah. Sungguh memalukan karena menyerahkannya pada Ranta. Haruhiro lalai, kemampuannya lebih rendah dari Ranta, tapi dia bisa menerimanya tanpa keberatan.
Apakah Haruhiro harus memikul semua beban di pundaknya? Tidak. Dia bisa membiarkan Ranta mengambil alih beberapa pekerjaan, dan Yume jadi lebih bisa diandalkan dari sebelumnya. Setora dan Haruhiro punya otak yang berbeda. Bahkan Kuzaku, dia tidak ragu untuk mempertaruhkan nyawanya di lini depan dengan kekuatan besarnya.
“Hey, Ranta.”
Dia tinggal di ruangan ini sudah seperti rumahnya.
Waktu telah berlalu.
Ada begitu banyak kejadian terjadi pada mereka untuk bisa dihitung.
Haruhiro dan yang lainnya telah berubah. Mereka tidak bisa tidak berubah.
“Dulu...”
“Apa?”
“Dulu, aku tak pernah mengira akan berakhir seperti ini.”
“Aku pun juga gitu lah.”
Ranta tertawa.
“Sayangnya, aku tidak lah maha tahu. Aku gak punya kekuatan meramal, kau tahu?”
“Bukan itu maksudku.”
Mungkin Haruhiro sedang mengeluh ke orang yang salah. Lagipula ini Ranta, palingan dia akan mengejek Haruhiro karena letoy.
“Semua itu hanya lah omong kosong.”
Ranta menyilangkan kakinya, meletakkan tangannya di atas tumpukkan jerami, dan membungkuk ke belakang. Meskipun dia adalah Ranta, dia tak membenci atau meremehkan Haruhiro.
“Bukankah dari awal hidup itu emang penuh dengan omong kosng? Maksudku, coba pikirkan. Kita memulai kehidupan seperti ini dalam situasi sialan dimana kita tak bisa mengingat apa pun kecuali nama kita sendiri. Bahkan jika bukan itu yang terjadi. Kau tahu? Setelah kau lahir, kau hanya akan makan, tidur, dan BAB, makan, tidur, dan BAB, makan, tidur, dan saat kau melakukan itu semua, suatu hari nanti kau akan meninggal. Semua mahluk hidup itu sama, lho. Singkatnya, mereka hanya makan, tidur, dan BAB.”
“Lumayan kasar juga ya penjelasannya.”
Haruhiro tertawa kecil. Bukannya karena lucu. Apa lagi yang bisa dia lakukan selain tertawa? Tidak ada.
“Tapi bukan hanya itu yang kita lakukan, kan?”
“Ya.” Ranta mengakuinya. “Mahluk hidup selalu lahir sebelum mati. Karena itu, mereka lahir dan membuat keturunan sebelum mati.”
“Benar.”
“Kau punya keinginan untuk nge-seks sama cewek, kan?”
“Itu, gak terlalu sih...”
“Jangan sungkan padaku, bung. Jika kau pernah punya keinginan nge-seks sama cewek sesekali, tinggal ngomong ‘ya’ aja, simpel, kan?”
“Yah, benar, aku pernah.”
“Tapi bahkan keinginan itu hanya lah sistem kita untuk berkembang biak sebagai mahluk hidup.”
“Kau benar juga...”
“Aku yakin bahkan pria bajingan sepertimu akan terlihat lemah jika melihat anaknya sendiri di depan matanya.”
“Aku tak pernah berpikir sejauh itu.”
“Aku bertahu kau sesuatu. Kau itu seorang rendahan yang akan meminta maaf pada anakmu sendiri mengenai apa pun itu.”
“Bukankah itu wajar untuk mencintaimu anakmu sendiri?”
“Itu adalah sesuatu yang sudah dirancang.”
“Ya. Kita, sebagai mahluk hidup, diciptakan untuk mencintai darah daging anakmu sendiri, ya?”
“Tentu saja, di luar sana ada orang tua brengsek dan bodoh yang tak mencintai anak mereka sendiri. Harusnya kau merawat mereka dengan baik. Jika tidak, maka mereka tak akan bisa berkembang biak. Jika semuanya diatur sedemikian rupa seperti itu, bukankah akan selesai masalahnya?”
“Ya.”
“Aku mulai kedinginan nih. Sungguh menyebalkan. Semuanya menyebalkan. Aku serius, lho.”
Ranta menceritakan saat dimana dia sendirian di hutan lebat. Tak ada orang di sekitar. Benar-benar tidak ada. Hanya ada satu orang, dia sendiri. Tak peduli apa yang dia lakukan, tak peduli seberapa jauh dia pergi, tak peduli kapan dia pergi, dia tak pernah melihat siapa pun.
Di beberapa waktu, dia bahkan berpikir ingin diserang oleh hewan buas atau semacamnya lalu dimakan.
Atau berpikir untuk tidak makan dan minum, lalu menunggu sampai membusuk.
Tapi pada akhirnya dia tetap mencoba untuk keluar dari hutan yang lebat itu. Tak peduli sebetapa inginnya dia keluar dari hutan itu, dia tetap berpikir ‘apakah ini mungkin?’. Dia tak tahu. Mungkin saja tidak mungkin. Dia mungkin akan dimakan oleh binatang buas, atau tersesat dan mati di hutan itu tanpa jejak serta tak diketahui orang lain saat mencoba.
Ketakutan yang tak biasa serasa mencekiknya.
Dia merasa seperti itu, tapi tak sampai pingsan.
Kakinya terasa berat.
Begitupun dengan seluruh tubuhnya.
Satu langkah, hanya satu langkah. Dia meras tak bisa mengambil satu langkah itu.
Tapi pada akhirnya dia bisa keluar dari hutan lebat.
“Tidak hanya sekali. Itu terjadi sangat banyak.”
Ranta memasang senyum tipis di wajahnya. Matanya setengah terbuka. Bibir dan
dagunya tampak bergetar secara samar-samar. Pasti dia merasa sangat ngeri ketika
mengingat itu semua. Tapi dia tak akan lari dari ingatan itu. Bahkan jika dia
hanya berusaha kuat, dia jalani itu, dan terus menjadi dirinya yang sebenarnya.
Itu lah gaya Ranta.
“Aku benar-benar sendirian, kau tahu? Aku teringat akan hal itu. Jika aku ingin seseorang untuk di ajak bicara, aku berpura-pura ada orang di depanku atau di benakku, dan bergumam sendiri. Sungguh tak berguna. Bahkan sekarang, ketika aku tidur, terkadang aku memimpikan kejadian waktu itu. Reaksiku seperti, “Oh, ayolah, jangan ini lagi.”. Terkadang juga aku berpikir seperti apa mati itu rasanya. Jika mati, aku tak ingin mati perlahan. Lebih baik mati dalam sekali tembakan. Benar-benar merepotkan, kau tahu? Pada akhirnya, itu lah poin utama tentang kehidupan.”
“Aku tak terlalu mengerti. Apa yang kau maksud ‘pada akhirnya’?”
“Dasar bodoh. Pake otakmu dikit dong.”
Ranta mendecakkan lidahnya.
“Dengar, Parupiro. Tak peduli betapa banyak waktu indah yang kau lalui. Bahkan jika aku punya 3.000 anak yang keluar dari sperma luar biasaku ini, terus apa? Semua itu akan hilang ketika kau mati, dan pada saat sekarat, kau akan berpikir, “Ini adalah kejadian terburuk yang pernah kualami,” lalu kau hanya akan menjadi seonggok mayat. Itu lah kehidupan, dan emang fakta, kan?”
“Aku tak berpikir seperti itu.”
“Kalo gitu ya terserah apa pendapatmu. Aku tak akan mengubah pendapatku. Sungguh tak berguna. Ini kebebasanku.”
“Kita emang gak akur, ya?”
“Kau dah tau itu, kan?”
“Ya.”
“Semua orang itu bajingan.”
“Bahkan Yume?”
“Gak ada pengecualian. Aku bajingan, dia juga, aku bajingan ketika hidup, begitupun pas dah mati. Tapi aku masih ingin mempertahankan gaya hidupku untuk seumur hidup. Dengan kata lain, aku telah mencapai pencerahan di hutan lebat itu, sendirian. Aku sudah mengerti. Apa yang penting itu bukan lah tentang aku bajingan atau pun dia bajingan.”
Jika Haruhiro menafsirkannya, apa yang Ranta coba katakan adalah ini.
Semua nilai hanya lah kepalsuan. Tak ada yang bernilai. Kau harus meninggalkan semua nilai yang tampak tak mungkin ada di sana. Maka kau hanya harus menghargai apa yang tersisa.
“Haruhiro, apakah menurutmu ada alasan khusus atau apa pun itu yang membuat masalah sialan ini terus berlanjut? Tidak ada” kata Ranta dengan percaya diri. “Dari awal semuanya emang penuh omong kosong, termasuk kau. Tak heran kejadian yang kita alami juga penuh omong kosong. Jadi jangan ambil pusing, Haruhiro. Terima saja semua omong kosong itu.”
Haruhiro pikir itu adalah hal yang mengerikan untuk dikatakan, tapi dia tidak marah.
Waktu telah berlalu sejak saat itu, dan aku merasa aku bukan lah orang yang sama seperti dulu. Namun, seperti biasa, aku dikendalikan oleh situasi dan didorong ke kiri dan kanan. Aku bertanya-tanya apakah aku bisa membuat keputusan yang lebih wajar dan keluar dari situasi mengerikan ini? Ranta bilang padaku untuk tidak terbawa oleh pemikiran seperti ini. Aku dan rekan-rekanku selalu seperti ini dari awal. Jadi tak heran kalau kita sudah seperti ini sejak lama.
Komentar
Posting Komentar